Namun, menurut YARA, kesepakatan tersebut tidak pernah dijalankan. Bahkan, permintaan informasi progres implementasi kesepakatan oleh Asrizal tidak direspons oleh pihak terkait.
Pada Maret 2023, gugatan serupa kembali diajukan oleh Kepala Perwakilan Aceh Tamiang, Samsul Bahri, dan dari Aceh Timur, Indra Kusmeran. Saat proses persidangan berlangsung, Menteri ESDM Arifin Tasrif akhirnya mengeluarkan surat pengalihan sebagian wilayah kerja Pertamina EP di Aceh kepada BPMA pada 26 Mei 2023.
Surat itu menetapkan bahwa pengelolaan wilayah kerja hasil “carved out” akan dialihkan ke afiliasi Pertamina EP, yaitu PT Pertamina Hulu Energi Aceh Darussalam, dengan masa kontrak berlaku sejak 17 September 2025 hingga 16 September 2035. Persyaratan tambahan adalah tidak boleh ada beban kewajiban baru terhadap afiliasi Pertamina tersebut.
Persetujuan Sudah Diberikan, Tapi Keputusan Menteri Belum Turun
Menindaklanjuti surat Menteri ESDM, telah disusun “term and condition” antara Pertamina EP, SKK Migas, dan BPMA, dan pada 30 Oktober 2024, Pj Gubernur Aceh, Safrizal ZA, telah menyetujui dokumen tersebut.
Namun hingga kini, Keputusan Menteri ESDM yang menjadi dasar kontrak baru belum juga dikeluarkan. Akibatnya, pengelolaan Blok Migas di Aceh Tamiang dan Aceh Timur masih tetap di tangan SKK Migas dan Pertamina EP.
“Kami melihat ini sebagai bentuk pembiaran yang disengaja dan sangat merugikan Aceh. Ini serupa dengan ‘pembegalan’ terhadap hasil migas Aceh, sebagaimana kasus empat pulau Aceh yang sebelumnya nyaris ‘hilang’, sebelum diselesaikan dengan bijak oleh Presiden,” pungkas Safaruddin. (*)
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp
Tinggalkan Balasan