Wahyu menambahkan bahwa dalam Permendagri tersebut, jika pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kemampuan anggaran, mereka bisa meminta bantuan kepada pemerintah provinsi. Bahkan, menurutnya sudah tiga kali Kabupaten Abdya menyelenggarakan Pilkada langsung tanpa diwarnai dengan masalah anggaran, namun tahun 2024 ini menjadi masalah.

“Justru di tahun 2024 ini kita bermasalah dengan anggaran,” cetusnya.

Wahyu juga menegaskan bahwa Panwaslih sudah empat kali membahas secara detail rincian kebutuhan anggaran secara terbuka dengan TAPK dari usulan awal Rp8,5 milyar setelah sampai 4 kali rasionalisasi menjadi Rp6,6 milyar dalam rapat terakhir dengan TAPK berdasarkan saran dari DPRK.

“Jangan menyebarkan berita bohong bahwa kami tidak bersedia membahas anggaran. Angka Rp4,5 miliar itu adalah angka yang dipaksakan kepada kami untuk diterima. Secara aturan, pembahasan anggaran Pilkada adalah antara TAPK dengan Panwaslih, bukan kami dengan DPRK,” tegasnya.

Wahyu menekankan bahwa Panwaslih diusulkan oleh DPRK dan dibentuk oleh Bawaslu untuk mensukseskan pemilihan kepala daerah, bukan untuk kepentingan mereka sendiri. Panwaslih diberikan hak untuk mengusulkan kebutuhan anggaran, bukan meminta anggaran.

“Kita harus memahami kedudukan masing-masing, sehingga tidak ada istilah memaksakan kehendak atau terkesan seperti besar patai bu ngon patai sambai. Apalagi menggunakan istilah anak durhaka,” imbuh Wahyu.

Saat ini, Panwaslih menunggu surat resmi dari pemerintah daerah terkait alokasi anggaran dan kemampuan pembiayaan pengawasan Pilkada. Semua mekanisme sesuai aturan Permendagri telah dijalankan Panwaslih, mulai dari mengusulkan anggaran hingga membahasnya dengan TAPK dan dimediasi oleh DPRK.