Tetapi sayang, ia tak juga mendapatkan keberuntungan. Buku-bukunya tidak laku, dan ia hanya jadi penulis tanpa nama yang kere.
Di tengah kelesuannya mengejar impian menjadi penulis yang tenar, ia pun berhenti menerbitkan karya. Ia hanya terus menulis untuk ia simpan sendiri, entah di buku catatan atau di laptopnya.
Ia seolah tak bisa menghentikan kebiasaannya menulis, meski ia tak memperoleh apa-apa. Hingga akhirnya, ia mendapatkan tawaran dari Fikar untuk menjadi penulis bayangan dengan bayaran yang besar. Ia pun menerima tawaran itu demi kelangsungan hidupnya, hidupku, dan hidup anak-anak kami.
Demikianlah ceritanya, hingga timbul desas-desus dan prahara terkait novel trilogi atas nama Fikar yang sebenarnya ditulis sampai hampir rampung oleh suamiku.
Kini, di tengah perhatianku menonton Fikar yang kembali mengoarkan omong kosong perihal proses kreatifnya, aku pun dikejutkan oleh suara ketukan dari daun pintu rumahku. Dengan tenang, aku lalu menyambut sang tamu yang kuyakini sebagai seorang wartawan koran yang dikirimkan pihak redaksi untuk mewawancaraiku. Dan benar saja, begitulah adanya.
Aku lantas mempersilahkannya masuk. Kami kemudian duduk berhadapan di sofa ruang tamu. Pada meja, di antara kami, aku pun telah meletakkan barang bukti untuk memperkuat kesaksianku bahwa suamiku adalah penulis bayangan untuk Fikar.
Bukti itu berupa kertas-kertas bertulis tangan yang memuat keseluruhan kerangka cerita novel trilogi karangan suamiku, juga sebuah laptop yang menampung serangkaian draf revisi dari setiap seri trilogi yang sempat ditulisnya.