Setelah mengamati semua bukti-bukti itu, sang wartawan pun tampak meyakini kebenaran tudinganku. Ia lantas mewawancaraiku dengan pertanyaan-pertanyaan perihal pengetahuanku dan kesaksianku atas perjalanan kepenulisan suamiku, mulai dari soal proses belajarnya dalam menulis, hingga proses kreatifnya dalam mengarang novel trilogi tersebut.

“Apa yang Ibu inginkan sampai Ibu mengungkapkan semua ini? tanya sang wartawan kemudian, setelah serangkaian pertanyaan sebelumnya.
“Aku ingin mengambil kembali hakkku dan hak anak-anakku atas karya-karya suamiku. Kami berhak, sebab tak seorang pun patut mengakui hasil imajinasi orang lain dan mendapatkan keuntungan dari pengakuannya. Karena itu, tindakan Fikar telah melanggar hak moral suamiku, dan hak ekonomi kami sebagai ahli warisnya,” terangku.

“Apakah Ibu akan membawa perkara ini ke jalur hukum?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng ragu. “Aku hanya ingin hakkku dan hak anak-anakku dikembalikan. Tetapi kalau harus menempuh jalur hukum untuk mendapatkannya, aku bersedia.”
Sang wartawan pun mengangguk-angguk dan tak lagi melontarkan pertanyaan.

Ia lantas mematikan perekam suara di ponselnya sebagai tanda kalau ia telah mengakhiri proses wawancara, seolah-olah ia sudah merasa cukup dengan keteranganku
Sesaat kemudian, ia lantas melepaskan batuknya dan melayangkan sebuah permintaan,

“Maaf, Bu. Kalau boleh, aku minta air putih.”

Dengan segera, aku melangkah ke ruang dapur untuk mengambilkannya sebotol air minum di dalam kulkas, juga sebuah gelas.
Sesaat kemudian, aku lalu kembali. Dan seketika, aku terkejut hebat setelah menyaksikan kalau ia tak ada lagi di ruang tamu rumahku. Ia telah menghilang bersama laptop peninggalan suamiku, juga berkas-berkas kertas berisi kerangka novel trilogi karangannya.***