Foto: Warga Aceh Tengah Masih Gunakan Jembatan Darurat Sling Baja, Sekali Nyebrang Rp30.000

Foto: Warga Aceh Tengah Masih Gunakan Jembatan Darurat Sling Baja, Sekali Nyebrang Rp30.000

Laporan: Redaksi | Editor: Adi Fitri

 

Takengon – Sembilan desa di Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah masih terisolir, setelah tiga jembatan terputus karena banjir bandang dan tanah longsor akhir November lalu.

Warga di sembilan desa yang diperkirakan dihuni 700 keluarga ini sudah hampir satu bulan harus mengatur strategi bertahan hidup.

Sebagian dari mereka kini benar-benar bergantung dari jembatan darurat berupa seutas sling baja yang terbentang di atas sungai deras.

Jembatan darurat itu menjadi satu-satunya akses keluar-masuk yang dipakai penyintas mencari makan dan berobat ke Kota Takengon atau Kabupaten Bener Meriah.

Khairunnisa bersama bayinya berusia 1,5 tahun sedang bersiap menyeberang di jembatan darurat ini. Bayinya terus merengek dalam pelukannya.

“Karena enggak ada jalan lain, terpaksa lewat sini [sling] kami menyebrang. Seperti kemarin itu [sedang] sakit,” kata Khairunnisa kepada wartawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia dari Aceh Tengah, Selasa (23/12).

Warga Desa Burlah ini terlihat sudah hapal bagaimana ikatan tali pengaman melilit hampir di sebagian tubuhnya.

“Sudah tak terhitung lagi [menyeberang di sini],” katanya.Meskipun sudah “tak terhitung lagi” menggunakan jembatan darurat ini, air muka perempuan 24 tahun ini tetap menunjukkan kecemasan mendalam.

“Kekmana enggak takut. Ini kalau jatuh bisa lansung hanyut ke sana,” katanya sambil memeluk bayinya lebih erat.”

Di sana [desa saya] tidak ada makanan dan listrik,” tambah Khairunnisa.

Tangan kiri memeluk erat bayi, dan tangan kanan mencengkram gantungan. Dua pria yang sedari tadi membantunya mengikat tali perlahan meluncurkan Khairunnisa.

Di seberang, dua pria lainnya menarik tali, agar tubuh Khairunnisa dan bayinya bisa benar-benar menapak di sisi sungai.

Ia kemudian mengeluarkan uang Rp30.000 dan diberikan kepada orang-orang yang membantu. Biaya ini dikeluarkan untuk sekali menyeberang.

Warga Desa Burlah lainnya, Hamdika mengaku harus berjalan kaki puluhan kilometer melintasi antar kabupaten untuk membeli kebutuhan pokok.

Ia harus melalui kondisi medan berlumpur, jembatan putus dan waktu berhari-hari. Langkah ini terpaksa dilakukan karena ketersediaan bahan makanan di desanya sudah ludes. (*)

Estimated reading time: 7 menit

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup