Foto udara warga menyeberangi sungai dengan jembatan darurat di wilayah Tenge Besi, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Sabtu (20/12). (ANTARA FOTO/Khalis Surry/foc)Warga melihat pekerja saat menggunakan alat berat untuk memperbaiki jalan lintas KKA Aceh Utara-Bener Meriah yang longsor dan amblas di Alue Dua, Aceh Utara, Aceh, Selasa (23/12). (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/nym)Warga antre melintasi badan jalan lintas Geumpang-Pameu-Takengon saat dibersihkan di Desa Panton Tengah, Rusip Antara, Aceh Tengah, Aceh, Rabu (24/12). (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/agr)Sejumlah warga korban bencana yang terisolir melintasi Daerah Aliran Sungai (DAS) lewat jembatan tali darurat penghubung Desa Uyem Beriring dan Desa Pasir, Kecamatan Tripe Jaya, Gayo Lues, Aceh, Sabtu (20/12). (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc)Warga meniti jalan pada pohon saat melintasi Desa Pepelah, Kecamatan Pinding, Kabupaten Gayo lues, Aceh, Senin (22/12).Khairunnisa bersama bayinya menggunakan jembatan darurat yang menjadi satu-satunya akses keluar-masuk yang dipakai penyintas mencari makan dan berobat ke Kota Takengon atau Kabupaten Bener Meriah. Ia menggunakan sling baja ini “tidak terhitung” tapi tetap khawatir dengan risiko terjatuh dan terhanyut di sungai deras. (Foto: Hidayatulah/BBC News Indonesia)Warga Aceh Tengah, Khairunnisa bersama bayinya berusia 1,5 tahun tak punya pilihan lain terpaksa menyebrang dengan jembatan darurat dari seutas sling baja untuk berobat dan mencari kebutuhan hariannya. Bencana banjir bandang dan longsor yang menimpa Aceh Tengah dan sejumlah wilayah di Aceh mengakibatkan jembatan penghubung di daerah itu ambruk. (Foto: Hidayatulah/BBC News Indonesia)Khairunnisa bersama bayinya sedang melintasi sungai deras di Aceh Tengah. Jembatan yang dibuat secara “swadaya” ini tidak gratis. Setiap menyeberang para penyintas harus merogoh kocek Rp30.000. (Foto: Hidayatulah/BBC News Indonesia)Sejumlah pengungsi bencana banjir berjalan di Desa Kuala Keureuto, Aceh Utara, Aceh, Senin (8/12/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym)Foto udara kondisi jembatan yang menghubungkan dua desa di Aceh Tengah telah hancur. (Foto: Hidayatulah/BBC News Indonesia)Warga dari desa yang masih terisolir harus berjalan kaki puluhan kilometer untuk membeli kebutuhan hariannya. (ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/mrh/foc)Foto dari udara kondisi jembatan yang rusak sebelumnya menghubungkan Desa Burlah dengan Desa Berawang Gajah, Aceh Tengah. (Foto: Hidayatulah/BBC News Indonesia)
Takengon – Sembilan desa di Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah masih terisolir, setelah tiga jembatan terputus karena banjir bandang dan tanah longsor akhir November lalu.
Warga di sembilan desa yang diperkirakan dihuni 700 keluarga ini sudah hampir satu bulan harus mengatur strategi bertahan hidup.
Sebagian dari mereka kini benar-benar bergantung dari jembatan darurat berupa seutas sling baja yang terbentang di atas sungai deras.
Jembatan darurat itu menjadi satu-satunya akses keluar-masuk yang dipakai penyintas mencari makan dan berobat ke Kota Takengon atau Kabupaten Bener Meriah.
Khairunnisa bersama bayinya berusia 1,5 tahun sedang bersiap menyeberang di jembatan darurat ini. Bayinya terus merengek dalam pelukannya.
“Karena enggak ada jalan lain, terpaksa lewat sini [sling] kami menyebrang. Seperti kemarin itu [sedang] sakit,” kata Khairunnisa kepada wartawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia dari Aceh Tengah, Selasa (23/12).
Warga Desa Burlah ini terlihat sudah hapal bagaimana ikatan tali pengaman melilit hampir di sebagian tubuhnya.
“Sudah tak terhitung lagi [menyeberang di sini],” katanya.Meskipun sudah “tak terhitung lagi” menggunakan jembatan darurat ini, air muka perempuan 24 tahun ini tetap menunjukkan kecemasan mendalam.
“Kekmana enggak takut. Ini kalau jatuh bisa lansung hanyut ke sana,” katanya sambil memeluk bayinya lebih erat.”
Di sana [desa saya] tidak ada makanan dan listrik,” tambah Khairunnisa.
Tangan kiri memeluk erat bayi, dan tangan kanan mencengkram gantungan. Dua pria yang sedari tadi membantunya mengikat tali perlahan meluncurkan Khairunnisa.
Di seberang, dua pria lainnya menarik tali, agar tubuh Khairunnisa dan bayinya bisa benar-benar menapak di sisi sungai.
Ia kemudian mengeluarkan uang Rp30.000 dan diberikan kepada orang-orang yang membantu. Biaya ini dikeluarkan untuk sekali menyeberang.
Warga Desa Burlah lainnya, Hamdika mengaku harus berjalan kaki puluhan kilometer melintasi antar kabupaten untuk membeli kebutuhan pokok.
Ia harus melalui kondisi medan berlumpur, jembatan putus dan waktu berhari-hari. Langkah ini terpaksa dilakukan karena ketersediaan bahan makanan di desanya sudah ludes. (*)
Tinggalkan Balasan