Selain itu, Pemerintah Aceh juga akan mencetak dan memperbanyak buku “Hikayat Aceh” untuk dijadikan koleksi literasi setiap perpustakaan di Aceh dan nasional.
Pemerintah Aceh juga akan melakukan berbagai promosi dan diseminasi naskah Hikayat Aceh serta berbagai bentuk dukungan lainnya yang akan lebih mendekatkan masyarakat Aceh terhadap literasi kuno tersebut.
Iskandar menuturkan, langkah-langkah yang diambil tersebut merupakan cara Pemerintah Aceh untuk menyelamatkan dan memulihkan “Hikayat Aceh”, maupun naskah-naskah kuno lainnya sebagai arsip warisan budaya masa lalu.
“Aceh, sudah seharusnya berkaca pada kondisi alamnya yang rawan terhadap bencana, jadi sudah sepatutnya kita berkonsentrasi pada penyelamatan dan perlindungan arsip-arsip lainnya dari dampak bencana, seperti arsip vital,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Komite Nasional MoW yang juga Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Imam Gunarto menjelaskan, program Memory of the World diluncurkan oleh UNESCO pada tahun 1992, sebagai respon terhadap ancaman kepunahan warisan dokumenter berupa arsip, pustaka maupun artefak dari kerusakan, baik itu yang mengalami kerusakan ataupun kemusnahan yang disebabkan oleh faktor alamiah dan faktor manusia.
Imam menerangkan, keterlibatan Indonesia dalam pengajuan warisan dokumenter sebagai MoW, sudah diawali sejak tahun 2003. Indonesia juga memiliki andil sebagai co-nominator dalam pengajuan arsip seperti, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), manuskrip La Galigo (2011), Babad Diponegoro dan kitab Negara Kertagama (2013), arsip KAA (2015), Arsip Restorasi Borobudur, Naskah Cerita Panji dan Arsip Tsunami Samudera Hindia (2017).