Institusi pendidikan tinggi diharapkan menjadi memimpin perubahan transformasional dalam pendidikan perawatan kesehatan yang dimulai dengan tinjauan kurikulum dan hasil pendidikan dari berbagai disiplin ilmu kesehatan dan bidang-bidang di mana IPC secara alami menyelaraskan. Laporan WHO (2010) menekankan bahwa sistem pendidikan dan perawatan kesehatan harus berkoordinasi untuk mengembangkan mekanisme pendidikan dan kurikulum yang mendukung IPC.
Di Indonesia sendiri, IPC secara umum juga belum berjalan baik, hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatalina, dkk (2015) yang berjudul “Persepsi dan Penerimaan Interprofessional Collaborative Practice Bidang Maternitas pada Tenaga Kesehatan” menunjukkan belum terlaksananya kerjasama interprofesi dan kerjasama tradisional masih dilaksanakan dengan asumsi dokter sebagai pemimpin dan pelaksananya adalah apoteker, perawat dan bidan.
Selain itu, masih kurangnya komunikasi antar tenaga kesehatan. Salah satu penghambat dalam pelaksanaan kolaborasi antar tenaga kesehatan adalah kurangnya komunikasi antar profesi, seperti kurangnya komunikasi antara dokter, perawat, dan apoteker yang berujung pada kesalahan dalam meracik obat kepada pasien.
Lantas bagaimana dengan penerapannya di Aceh?
Hasil Penelitian Sri Wahyuni (2021), yang berjudul “Implementasi Interprofessional Collaboration ditinjau dari Pengetahuan dan Persepsi Professional Pemberian Asuhan Tentang Kewenangan Klinis di RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh. Dimana tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran implementasi IPC ditinjau dari pengetahuan dan persepsi PPA tentang kewenangan klinis dengan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi menggunakan metode in depth interview dan focus group discussion (FGD).