Informan pada penelitian ini sebanyak 12 orang PPA yang terdiri dari dokter penanggung jawab pasien, perawat, apoteker, dan dietisien. Hasil penelitiannya menunjukkan ketidakoptimalan implementasi IPC di RSUD Meuraxa disebabkan kegagalan pemahaman PPA dalam melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya sesuai kewenangan klinis yang dimiliki. PPA umumnya memiliki persepsi yang positif terhadap interprofessional collaboration dan kewenangan klinis.

Penelitian lain yang berjudul “Komunikasi Profesional Pemberi Asuhan dalam Membangun Interprofessional collaboration di RSUD Meuraxa oleh Sri Wahyuni, dkk (2021), yang bertujuan untuk mengalisis praktik komunikasi PPA dalam implementasi IPC dengan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Wawancara mendalam dan FGD dilaksanakan bersama PPA yang meliputi dokter (DPJP), perawat, apoteker, dan ahli gizi. Dimana hasilnya, praktik komunikasi PPA dalam pelaksanaan IPC di RSUD Meuraxa belum terlaksana secara optimal. PPA belum memanfaatkan Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT) dengan baik karena lebih fokus melaksanakan asuhan secara mandiri. Budaya membaca informasi PPA lain dalam CPPT masih kurang, keterbatasan waktu saat melakukan pelayanan dan kurangnya SDM disinyalir sebagai hambatan dalam melaksanakan komunikasi secara interprofesional.

Bagaimana peran USK?

Sebagai universitas terbesar di Aceh yang dijuluki Jantong Hatee Rakyat Aceh, USK hendaknya menjadi role model tentang penerapan IPE yang baik sehingga kemudian bermuara pada IPC yang sesuai dengan harapan semua pihak. IPE yang bagus tentunya menjadi harapan akan lahirnya IPC yang bagus pula. Sehingga kedepan tidak akan ada lagi salah satu profesi kesehatan yang merasa lebih superior dari pada profesi lainnya, akan hilang persepsi yang merasa profesinya adalah pembantu profesi lain, semua bekerja berkolaborasi sesuai tupoksi dan kompetensi masing-masing.