Program susu gratis, menurut Bhima, cukup populis tapi butuh biaya amat besar. Anggarannya bahkan bisa dibilang setara dengan nilai proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara senilai Rp 466 triliun.

“Kalau Rp 400-an triliun untuk makan siang dan susu gratis berasal dari utang, maka tambahan beban bunga utang akan semakin memberatkan. Lalu IKN apa mau disetop? Menurut saya, harus pilih: mau makan siang dan susu gratis, atau pembangunan IKN? Ini saling mengunci,” ujar Bhima.

Ia menambahkan, realokasi dana pendidikan, bansos, dan kesehatan juga tidak mudah. Bhima mencontohkan, bila menggunakan dana bansos, belum tentu masyarakat menerima, sebab masyarakat lebih senang jika bansos diberikan secara tunai daripada diganti dengan makan siang dan susu gratis.

“Secara politik, kalau kebijakan susu gratis ini dirinci, mungkin akan menimbulkan penurunan elektabilitas. Karena ketika dirinci anggarannya berasal dari dana pendidikan, bansos, dan belanja-belanja lain. Beberapa pemda, ASN, guru, akan resisten terhadap program ini,” ucap Bhima.

Selama tidak ada penjelasan rinci dari TKN soal sumber anggaran, program tersebut bagi Bhima terlalu bombastis dengan kajian yang ia anggap prematur.

“Program ini baru realistis jika IKN tidak dilanjutkan, atau ada kementerian/lembaga yang anggarannya digeser semua, atau kalau semua perjalanan dinas 34 kementerian/lembaga dihilangkan,” kata Bhima.

Di tengah segala pro dan kontranya, para peternak berharap jika program susu gratis berjalan, peternakan sapi perah dalam negeri akan kembali menggeliat.