Kemudian berkata kepadanya, “Maukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua? Kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini” maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?”
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka” (HR. At Tirmidzi).
Manurut Umar Rafsanjani, tukang bicara sering lupa bahwa tidak ada satu pun masalah di dunia ini yang kelar karena dibicarakan. Tidak pula ada persoalan rampung karena sebatas bicara apalagi ditambah hoaks, fitnah, dan ghibah.
Karena faktanya, tukang bicara itu ya hanya pandai bicara, tapi tidak pandai berbuat, bicara begini-begitu, tapi sedikit sekali dalam eksekusi, sehingga publik terkecoh seolah-olah apa yang dibicarakan sama dengan apa yang diperbuat, padahal bisa jadi itu semuanya hanya omong kosong.
“Karena itu berhati-hatilah. Jangan jadi tukang bicara. Hindari banyak cakap, karena khawatir tukang bicara itu makin banyak bicara makin banyak salah, karena mereka sedang memperjuangkan mimpi-mimpi mereka, lalu lupa kepada benar dan salah seumpama orang-orang yang hidup dalam harapan, bukan kenyataan, seperti yang hidup di negeri fantasi bukan di negeri realiti,” urainya.
Di bagian akhir khutbah, Umar Rafsanjani mengingatkan, bahwa Allah Sawt mengancam dan membenci orang-orang yang hanya bicara, tapi lupa kepada praktik kerja atau beramal sebagaimana tersebut dalam surat ash-Shaff ayat 2 dan 3,