“Sebagai perempuan Aceh, pantang meneteskan air mata untuk orang yang telah syahid di medan perang. Bangkitlah agar arwah ayahmu tenang. Perjuangan kita masih panjang. Wajib bagi kita meneruskan semua ini,” tutur Cut Nyak Dhien.

Nama Cut Nyak Dhien tentu tak asing di telinga masyarakat Indonesia. Ia merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang berjuang menumpas kolonialisme Belanda di Aceh pada abad ke-19.

Sebagai tokoh penting dalam sejarah Tanah Air, sosok Srikandi dari Serambi Mekkah itu kerap diabadikan dalam berbagai media. Salah satunya, film berjudul Tjoet Nja’ Dhien yang dirilis perdana pada 1988. Film Tjoet Nja’ Dhien merupakan film epos perjuangan Cut Nyak Dhien dalam mengambil-alih kepemimpinan suaminya, Teuku Umar, yang tewas dalam penyergapan pada masa Perang Aceh melawan Belanda.

Sederet artis ternama terlibat dalam film yang disutradarai Eros Djarot tersebut. Sebut saja, Christine Hakim yang berperan sebagai Cut Nyak Dhien, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar, Pitradjaya Burnama sebagai Panglima Laot, dan Rudy Wowor sebagai Kapten Veltman.

Pelibatan nama-nama itu membuat film Tjoet Nja’ Dhien berhasil menyabet delapan Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1988 dan menjadi film Indonesia pertama yang diputar pada Festival Film Cannes 1989.

Kegetiran, Pengkhianatan dan Semangat Juang

Sepeninggal suaminya, Dhien mengambil alih kepemimpinan perang gerilya untuk membebaskan rakyat Tanah Rencong dari penjajahan khape atau kafir dalam bahasa Indonesia. Dengan tenaga dan semangat yang tersisa, serta dibantu Panglima Laot, Dhien terus membuat Belanda kerepotan.

Ia bersama rakyat beberapa kali melakukan penyerangan ke markas penjajah. Di sisi lain, pihak Belanda tidak menduga akan aksi nekat Dhien tersebut. Mereka mengira bahwa perang bakal selesai dengan mangkatnya Teuku Umar. Sayangnya, perjuangan melawan penjajahan ternyata bukan perkara mudah. Selama 31 tahun berperang, Dhien menghadapi banyak kekalahan akibat pengkhianatan beberapa pendukungnya.

Bukan itu saja, ia juga mengalami rabun dan encok karena peperangan yang tak pernah berhenti. Panglima Laot yang iba akan kondisi kesehatan Dhien terpaksa mengambil jalan pintas secara sepihak. Ia bernegosiasi pada pihak Belanda untuk melakukan gencatan senjata. Sebab, ia berpikir Dhien tak akan mungkin memenangkan peperangan.