Meulaboh, Acehglobal — Dua pasangan etnis Rohingya melangsungkan pernikahan di penampungan sementara di Aceh Barat, memicu kontroversi karena diduga melanggar Undang-Undang Perkawinan.
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Marhajadwal, menegaskan pernikahan tersebut tidak sah secara hukum.
“Pernikahan ini tidak sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” tegas Marhajadwal, dilansir Antara, Minggu (19/5/2024).
Marhajadwal menjelaskan, pernikahan pasangan Zainal Tullah dan Azizah, serta Zahed Huseen dan Rufias, diduga tidak mengikuti tata cara pernikahan Islam yang sah. Pernikahan tersebut dipimpin oleh Jabir, seorang ustadz di komunitas Rohingya.
Lebih lanjut, Marhajadwal menuturkan salah satu mempelai perempuan berusia di bawah 19 tahun. Berdasarkan aturan, pernikahan di bawah usia 19 tahun harus mendapatkan izin dispensasi dari pengadilan agama.
Pelanggaran lain adalah pernikahan tersebut tidak dilaporkan kepada KUA sebagai otoritas resmi pencatatan pernikahan dan kegiatan keagamaan.
Selain itu, katanya, pernikahan antar warga negara asing (WNA) belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Mereka pengungsi tanpa identitas dan tidak memiliki paspor. Jika kita minta dokumen kependudukan sebagai syarat pernikahan, mereka tidak memilikinya,” jelas Marhajadwal.
Meskipun demikian, Marhajadwal mengakui KUA Johan Pahlawan telah dihubungi oleh petugas UNHCR beberapa hari sebelum pernikahan. Pihaknya telah memberikan persyaratan, termasuk dokumen identitas yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, untuk memproses pernikahan.
Namun, hingga saat ini, persyaratan tersebut belum dipenuhi.
“Tidak mungkin pasangan Rohingya ini memenuhi syarat pernikahan sesuai UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasangan harus berusia minimal 18 tahun satu hari dan memiliki izin pengadilan, serta dokumen kependudukan resmi,” pungkas Marhajadwal. (*)