Secarik Kisah Nanggroe Sigupai: Listrik Mati, Hati Panik

Secarik Kisah Nanggroe Sigupai: Listrik Mati, Hati Panik

Laporan: Redaksi | Editor: Tim Redaksi
Tanzilul Authar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammadiyah Aceh Barat Daya. (Foto: IST/Dokpri)

Oleh: Tanzilul Authar, S.Pd., M.Pd

Nanggroe Breuh Sigupai hari ini seolah berada di panggung sandiwara kehidupan modern yang absurd. Hujan tak lagi turun, banjir tak datang, namun masyarakat tetap digelayuti oleh fenomena yang tak kalah menegangkan.

Lampu-lampu yang sebelumnya padam total kini menyala dan mati bergantian, dengan ritme yang tak menentu, menambah warna pada ketidakpastian sehari-hari.

Di tengah kilatan cahaya yang tak stabil itu, antrean BBM mengular bak ular yang tersesat, jerigen di tangan warga menjadi alat bertahan hidup menghadapi harga yang melonjak. Bahkan yang dulunya tak menjual minyak kini menjadi pedagang dadakan, menambah nuansa komedi tragis di panggung jalanan ini.

Alhasil, pengecer tersenyum tipis, menaikkan harga seolah setiap liter BBM adalah emas, sementara warga berdesak-desakan, setengah panik, setengah terhibur oleh pertunjukan tanpa akhir.

Bapak Bupati telah mengeluarkan maklumat resmi melalui surat edaran yang menekankan tertib, harga wajar, dan pentingnya solidaritas sosial. Pesan ini sederhana, namun memberi arah bagi warga di tengah kekacauan.

Meski demikian, kenyataan tetap menohok: lampu yang muncul dan padam, antrean panjang, harga sembako melonjak, serta pedagang minyak dadakan menjadi simbol absurdnya kehidupan sehari-hari di Nanggroe Breuh Sigupai.

Di tengah absurditas itu, muncul sosok yang bisa disebut pahlawan modern. Seorang pemilik genset di Susoh mengeluarkan uang dari saku pribadinya untuk membeli minyak genset, rela menyalakan mesinnya demi memudahkan warga kampung menambah daya piranti elektronik mereka. Lampu-lampu yang menyala di rumahnya menjadi saksi nyata kepedulian tanpa pamrih. Ia, tanpa panggung dan sorotan media, menghidupkan harapan di tengah kelamnya listrik bergilir. Keikhlasan ini mengingatkan kita bahwa pahlawan tidak selalu berseragam; kadang mereka hanya muncul dari tindakan kecil yang memberi dampak besar bagi komunitasnya.

Fenomena kelangkaan ini bukan sekadar soal bahan bakar atau sembako. Ia mencerminkan bagaimana manusia merespons ketidakpastian. Seperti kata Albert Einstein, “In the middle of difficulty lies opportunity” — “Di tengah kesulitan terdapat kesempatan.” Kepanikan yang meledak-ledak mencerminkan peluang bagi sebagian orang untuk meraup keuntungan, sekaligus menguji kesabaran, solidaritas, dan akal sehat masyarakat. Ironisnya, keserakahan individu sering mengalahkan kepentingan kolektif, sementara warga menunggu langkah bijak dari pemimpinnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup