Harusnya sebut Shaleh, Syakya belajar dulu dari aturan yang ada, bukan asal bunyi alias asbun dengan narasi tendensius dan provokatif.
“Katanya aktivis, tapi kok minus pengetahuan ya. Harusnya dia paham, ini bukan ranah cuap-cuap di media sosial, yang bisa bicara seenaknya. Tapi, ini ranah politik yang setiap argumentasi harus memiliki basis data dan aturan,” kritik Shaleh melalui rilisnya, Jumat (1/11/2024).
Menurut Shaleh, merujuk pada regulasi Pilkada yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh maupun Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016, tentang Pemilihan serta Qanun Aceh Nomor 12 tahun 2016, maupun Peraturan KPU Nomor 8 tahun 2024. Jelas dan sangat terang menderang, tidak terdapat larangan bagi jabatan dalam struktur Kelembagaan Wali Nanggroe Aceh, khusunya Waliyulahdi untuk maju sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota tahun 2024.
Buka dan baca kembali Pasal 1 angka 10 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2019, tentang Parubahan Kedua atas Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2012, tentang Lembaga Wali Nanggroe. Disebutkan, Waliyul’ahdi adalah pemangku Wali Nanggroe atau orang yang merupakan perangkat kerja Lembaga Wali Nanggroe yang melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan Wali Nanggroe, apabila Wali Nanggroe tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap dan melaksanakan tugas-tugas lain yang didelegasikan oleh Wali Nanggroe, ulas Shaleh.
Apalagi kedudukan Kelembagaan Wali Nanggroe, termasuk Waliyulahdi di dalamya berdasarkan ketentuan Pasal 96 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 sangat limitatif, yakni bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh.