Para TNI bisa saja menggunakan dalih mengamankan kedaultan dan keutahan NKRI untuk membunuh para pemberontak dan yang membantu pemberontak, hal ini di lindungi oleh undang-undang pada saat itu.
Tulisan ini tidak berbicara siapa yang salah dan siapa yang benar. Penulis hanya menjelaskan sedikit bagaimana seharusnya sejarah itu dinilai. Jika hanya melihat sisi para korban tentu saja ini adalah pembantaian, tapi jika kita memakai kacamata pemerintah ini adalah upaya mereka menjaga kedaulatan negara. Jadi, siapa yang sebenarnya salah?
Yang salah adalah menjadikan sesuatu yang keji sebagai pembenaran melakukan kebaikan. Membunuh yang berbuat salah saja masih dianggap sebagai pembunuh, apalagi membunuh yang belum tentu bersalah.
Pada tragedi Jambo Keupok kekejaman tidak selesai pada hal membunuh, tapi menyiksa, menindas, dan membinatangkan manusia adalah sesuatu yang seharusnya tidak pernah menjadi solusi perdamaian.
Memang sekarang Aceh dalam keadaan yang damai setelah perjanjian Mou Helsinki, tapi bagaimana dengan para keluarga korban yang dibunuh padahal belum tentu mereka bersalah, apakah kata “perdamaian“ bisa menghidupkan kembali jiwa yang mati?
Jika bisa, maka sungguh akan banyak TNI yang di penjara atas kesaksian para mayat hidup. Tapi sayangnya ini adalah hal yang mustahil sama seperti halnya jika masyarakat sipil menuntut keadilan bagi hak-hak mereka (para korban) yang di renggut pada tragedi operasi jaring merah.
Kurang tepat rasanya jika peristiwa di Jamboe Keupok hanya dikatakan tragedi kejahatan manusia, ini adalah sejarah pembantaian yang tidak tertulis di buku IPS anak sekolahan.
Jika tidak bisa menghidupkan kembali paling tidak bertanggung jawab dan ganti rugi, kata maaf saja tidak bisa mengisi kokosongan batin akibat kehilang orang yang disayang.(*)
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.
Editor : Murhaban
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp