Blangpidie, Acehglobal – Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Keadilan Aceh (YLBH-AKA) Distrik Aceh Barat Daya (Abdya), Rahmat, S.Sy., CPCLE, meminta kepada pihak pengelola SPBU yang ada di Abdya agar dapat memberikan pelayanan yang semestinya kepada masyarakat.

Menurut Rahmat, pelayanan SPBU semestinya melayani konsumen sesuai dengan regulasi atau peraturan yang ditetapkan. Jika ditemukan ada penyimpangan yang berpotensi merugikan masyarakat, ia meminta aparat penegak hukum (APH) turun langsung ke lapangan.

Hal tersebut, sebut Rahmat, menyusul ada laporan dari masyarakat kepada YLBH-AKA bahwa SPBU di Kecamatan Babahrot, Abdya, diduga melakukan praktik penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kepada pelansir atau penimbun.

Ia mengungkapkan bahwa praktik tersebut telah berlangsung lama, sehingga masyarakat setempat sulit mengakses BBM subsidi seperti Pertalite.

“Kami sudah mengirim surat kepada pihak SPBU tersebut seminggu yang lalu, namun sampai sekarang belum ada respons. Praktik ini sangat merugikan masyarakat, terutama mereka yang tidak mampu, seperti janda dan fakir miskin,” ujar Rahmat, yang didampingi oleh Kepala Divisi Internal YLBH-AKA Abdya, Andri Winanda, di Blangpidie, Minggu (24/11).

Menurut Rahmat, masyarakat setempat telah berulang kali melaporkan praktik penyelewengan di SPBU tersebut kepada YLBH-AKA.

Selain itu, ia menyayangkan bahwa SPBU itu tidak pernah menyalurkan program Corporate Social Responsibility (CSR) kepada desa sekitar sejak berdiri.

“Oleh karena itu, kami meminta Kapolda Aceh dan Polres Abdya untuk menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam praktik penimbunan minyak bersubsidi yang meresahkan masyarakat. Kami juga berencana melaporkan kasus ini kepada Gubernur Aceh dan Pertamina agar izin operasional SPBU tersebut dicabut,” tegas Rahmat.

Rahmat menjelaskan bahwa tindakan penimbunan minyak bersubsidi tidak hanya melanggar etika, tetapi juga ketentuan hukum. Ia merujuk pada Pasal 56 KUHP dan Pasal 53 jo. Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal tersebut mengatur sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan tanpa izin, seperti pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, atau niaga minyak dan gas bumi.

Adapun ancaman pidana yang dikenakan meliputi: Penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp50 miliar untuk pengolahan tanpa izin; Penjara maksimal 4 tahun dan denda hingga Rp40 miliar untuk pengangkutan tanpa izin; Penjara maksimal 3 tahun dan denda hingga Rp30 miliar untuk penyimpanan tanpa izin; dan Penjara maksimal 3 tahun, serta denda hingga Rp30 miliar untuk niaga tanpa izin.

“Kami minta aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti keresahan masyarakat atas ulah SPBU tersebut. Penegakan hukum yang tegas sangat diperlukan demi melindungi hak masyarakat dan menegakkan keadilan,” pintanya.

Klarifikasi SPBU

Pihak SPBU Kecamatan Babahrot yang telah terletak di Dusun Alue Ara, Desa Pantai Cermin membantah jika BBM bersubsidi berupa pertalite mereka distribusikan kepada pelansir untuk ditimbun.

“Itu tidak benar, dan kami tidak melayani warga beli pertalite dengan membawa jerigen, sebab penyaluran BBM bersubsidi telah diatur oleh Pertamina, khusus bagi kendaraan,” kata Kasmar, salah seorang pekerja di SPBU Babahrot, saat dikonfirmasi, Senin (25/11).

Dia menjelaskan, kuota BBM bersubsidi telah dibatasi oleh Pertamina. Setiap SPBU sebut Kasmar, hanya menerima kuota sebesar 8 ton dari sebelumnya sampai 16 ton.

Keterbatasan kuota BBM bersubsidi tersebut membuat pihak SPBU kewalahan dalam melayani masyarakat yang memerlukan minyak dalam jumlah besar dan waktu cepat.

“Mau bagaimana lagi sementara kami hanya menerima 8 ton BBM bersubsidi, sekitar 5-6 jam sudah habis dalam sehari,” ungkapnya.

Menurut Kasmar, cepatnya BBM habis di SPBU disebabkan oleh peminat yang sangat tinggi lantaran bertambahnya jumlah kendaraan milik masyarakat mulai roda dua (sepeda motor), mobil, hingga roda tiga.

“Bayangkan saja, kini dalam setiap rumah warga ada sepeda motor dari 2 hingga 3 unit. Mereka setiap saat butuh BBM pertalite. Bahkan ada yang isinya berulang-ulang kali, dan tidak mungkin kami tidak isi, jika kami tolak warga ribut dengan kami,” jelasnya.

Ia menyebut, selain untuk kebutuhan kendaraan masyarakat, BBM bersubsidi juga disiapkan untuk kebutuhan emergency, seperti kendaraan ambulance, dan Damkar.

Menurut Kasmar, terbatasnya kuota BBM bersubsidi merupakan kebijakan pemerintah melalui Pertamina. Ia tidak tau persis seperti apa program pemerintah terkait BBM bersubsidi kedepannya.

“Kalau hal itu kami tidak tau, karena kebijakan pemerintah, yang jelas selama ini stok BBM bersubsidi yang kami terima ke SPBU terbatas,” imbuh Kasmar.

Ia berharap kepada Pertamina agar menambah lagi kuota BBM bersubsidi pada setiap SPBU di Aceh, khususnya di Abdya, supaya pihaknya tidak berbenturan dengan masyarakat yang memerlukan BBM kendaraan untuk keperluan sehari-hari.

“Harapannya kedepan Pertamina bisa memberikan kuota lebih kepada SPBU dan masyarakat tidak terzalimi dengan kuota terbatas yang diberikan selama ini,” harapnya. (*)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp