Blangpidie, Acehglobal — Di balik hiruk pikuk bulan Ramadan di Aceh, khususnya di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) dulunya populer dengan sebutan “Asmara Subuh”. Asmara Subuh merupakan tradisi masyarakat berjalan kaki selepas sahur, salat subuh berjamaah dan mendengarkan kultum di masjid atau mushalla.

Asmara Subuh bukan sekadar jalan-jalan biasa. Tradisi ini menjadi momen bagi masyarakat untuk bersilaturahmi, bertukar kabar, dan mempererat tali persaudaraan. Sambil menikmati udara segar pagi hari, mereka berjalan kaki bersama keluarga, tetangga, dan teman-teman.

Dulu, di era tahun 90-an hingga 2.000-an tradisi ini digemari oleh semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Bagi anak-anak. Asmara Subuh menjadi ajang bermain dan bersenang-senang.

Sementara bagi orang dewasa, tradisi ini menjadi sarana untuk menjalin komunikasi dan mempererat hubungan sosial.

Pada saat itu sebutan ‘Asmara Subuh’ populer di kalangan masyarakat Abdya. Namun, entah dari mana istilah itu muncul, yang jelas kegiatan ini dilakukan usai sahur dan salat subuh.

Pada umumnya, penikmat Asmara Subuh masih memakai mukena bagi perempuan dan kain sarung sera peci bagi kaum pria. Tujuan mereka adalah berkeliling Kota Blangpidie. Bahkan dari Blangpidie mereka berjalan kaki sampai ke dermaga PPI Ujong Serangga, Susoh dan sebaliknya.

Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi Asmara Subuh mulai memudar. Penyebabnya beragam, mulai dari kesibukan masyarakat yang semakin meningkat, hingga perubahan gaya hidup. Kini, tradisi ini hanya dapat ditemukan di beberapa daerah pedesaan di Aceh.