Blangpidie – Pj. Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Ayu Marzuki, mengatakan angka prevalensi stunting di Aceh telah menurun sebesar 2 persen dari 33,2 persen pada tahun 2021 menjadi 31,2 persen pada tahun 2022.

Hal ini diungkapkan Ayu dalam talkshow jaring opini publik bersama Radio Djati FM dan Radio Swara Fatali Nusa Jaya FM yang bertema “Pernikahan Dini Picu Stunting” dan diselenggarakan secara live outdoor di Blang Poroh Cafe, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), pada Rabu (22/2/2023).

Menurut Ayu, penurunan angka stunting menjadi prioritas utama TP PKK Aceh tahun ini. Untuk mencapai tujuan tersebut, PKK Aceh telah menyusun strategi yang optimal dengan mengoptimalkan program kerja keempat pokja, karena keempat pokja tersebut memiliki tugas yang saling berkaitan dalam upaya menurunkan angka stunting.

“Alhamdulillah, Aceh dari awalnya peringkat 3 terbawah sekarang jadi rangking ke 5 terbawah, walaupun sedikit kita patut syukuri agar Allah selalu memberikan keberkahan,” ujar Ayu.

Ayu menjelaskan, ada tiga faktor penting yang mempengaruhi penurunan stunting pada anak, yaitu pola asuh, pola makan, dan akses sanitasi dasar yang baik. Ketiga faktor ini saling berkaitan dengan kondisi gangguan gizi kronis pada anak.

“Oleh karena itu, pentingnya melakukan intervensi yang difokuskan pada perempuan, mulai dari usia remaja untuk mempersiapkan fisik mereka sebagai calon ibu di masa depan,” tuturnya.

Upaya intervensi pada remaja putri antara lain dengan memberikan tablet tambah darah (TTD) mingguan bagi remaja putri dari usia sekolah mulai SMP dan SMA sederajat, serta mendorong aktivitas fisik dan konsumsi makanan bergizi seimbang.

Selain itu, jelas Ayu, intervensi pada ibu hamil juga sangat penting dengan memberikan TTD, pemeriksaan kehamilan rutin, pemberian makanan tambahan, dan pemantauan perkembangan janin dengan pemeriksaan ibu hamil minimal 6 kali selama 9 bulan.

“Semua hal ini harus tercukupi, karena menjadi faktor penting pada ibu hamil untuk mencegah kekurangan energi kronis/gizi dan zat besi,” terangnya.

Lebih lanjut dijelaskan Ayu, intervensi pada 1.000 hari pertama kelahiran (HPK) sangat krusial dengan memberikan ASI eksklusif bagi bayi 0-6 bulan, kemudian pada anak usia 6-24 bulan dilanjutkan dengan pemberian makanan tambahan yang tinggi protein hewani.

Hal ini bertujuan untuk mencegah stunting pada anak pada usia tersebut, akibat kurangnya protein hewani pada MP-ASI yang mulai diberikan sejak 6 bulan.

Namun demikian, Ayu menegaskan bahwa semua intervensi tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab kaum perempuan atau ibu saja, melainkan juga harus ada dukungan dan kerjasama dari para bapak dan suami.

Sementara itu, Kepala Dinas PMP4 Aceh Barat Daya, Nur Afni Muliana, mengungkapkan tiga risiko besar yang harus dihadapi oleh mereka yang melakukan pernikahan dini di Aceh.

Pertama, pendidikan akan menjadi masalah besar, karena mereka akan kesulitan meraih pendidikan hingga 12 tahun seperti seharusnya.

Kedua, dampak kesehatan yang signifikan akan dialami oleh pengantin wanita, di mana organ reproduksi mereka belum siap, sehingga meningkatkan risiko kematian saat melahirkan. Selain itu, pengetahuan tentang perawatan anak dan gizi yang memadai juga masih minim, yang meningkatkan risiko anak mengalami stunting.

Terakhir, dampak ekonomi juga harus menjadi pertimbangan serius, karena pasangan muda yang menikah dini akan kesulitan mencari pekerjaan yang layak dan hal ini bisa berdampak pada kesulitan ekonomi keluarga.

Semua risiko tersebut juga dapat memicu tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang berdampak pada kesehatan dan perkembangan anak, terutama terkait masalah stunting. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mencegah pernikahan dini dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. (*)

Editor : Salman