“Bahkan UUPA telah mewajibkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan,” tegasnya.

Pada pasal 8 Qanun Aceh tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan juga menegaskan jaminan atas hak perempuan untuk menduduki posisi jabatan politik di eksekutif maupun legislatif secara proporsional, melakukan berbagai aktivitas politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dicalonkan sebagai anggota legislatif oleh partai politik nasional maupun partai politik lokal.

Karenanya larangan bagi Perempuan Aceh untuk mencalonkan diri dalam Pilkada merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan dan perampasan hak konstitusional perempuan.

Lebih lanjut Rani menjelaskan tentang sejarah Islam yang juga telah mencatat peran penting tokoh perempuan seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, dan Sayyidah Fatimah dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam, tanpa melarang mereka untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan politik.

Bahkan Aceh sendiri memiliki warisan kepemimpinan perempuan yang kuat dengan 4 Ratu yang memimpin Aceh selama 59 tahun, yang didukung oleh dua ulama besar, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf As-Singkili.

“Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki tempat yang penting dalam sejarah kepemimpinan di Aceh,” tambahnya lagi.

Oleh karenanya, kata Rani, penting bagi publik di Aceh untuk mempelajari kembali sejarah ini guna menghindari kesalahpahaman dan merawat ingatan bersama.

Pernyataan Sikap

Menyikapi permasalahan tersebut, Balai Syura Ureung Inong Aceh dan seluruh elemen gerakan perempuan menyatakan sikap: