Blangpidie, Acehglobal – Ketua Panwaslih Pilkada Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Wahyu Candra, merespons dengan tenang pernyataan Ketua DPRK Abdya, Nurdianto, yang berencana menyurati Bawaslu RI untuk mengevaluasi kinerja Panwaslih Abdya.
Wahyu menyarankan Nurdianto untuk membaca secara lengkap Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Saya ingin bertanya kepada Pak Nurdianto, di pasal mana dalam Permendagri tersebut disebutkan bahwa penganggaran Pilkada disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah?” kata Wahyu kepada wartawan, Kamis (4/7/2024).
Wahyu menjelaskan, Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 menyatakan bahwa usulan anggaran Pilkada diajukan sesuai standar kebutuhan pendanaan oleh Panwaslih dan dibahas bersama Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten (TAPK).
“Namun, mengapa Ketua DPRK yang menjadi emosional dan temperamental? Ini adalah dinamika yang biasa terjadi. Anggaran tersebut disepakati bersama, bukan dipaksakan secara sepihak. Seharusnya kita berdiskusi dan berdebat secara konstruktif dengan TAPK, bukan menjadi emosional,” kata Wahyu.
Wahyu juga menyinggung standar kebutuhan anggaran dan satuan harga tahun 2017 berbeda dengan tahun 2024. Ia mencontohkan anggaran Pilpres 2019 sebesar Rp24,9 triliun meningkat lebih dari 100% pada tahun 2024 menjadi Rp71,3 triliun, menunjukkan perbedaan standar biaya dalam setiap pemilu.
Wahyu menambahkan bahwa dalam Permendagri tersebut, jika pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kemampuan anggaran, mereka bisa meminta bantuan kepada pemerintah provinsi. Bahkan, menurutnya sudah tiga kali Kabupaten Abdya menyelenggarakan Pilkada langsung tanpa diwarnai dengan masalah anggaran, namun tahun 2024 ini menjadi masalah.
“Justru di tahun 2024 ini kita bermasalah dengan anggaran,” cetusnya.
Wahyu juga menegaskan bahwa Panwaslih sudah empat kali membahas secara detail rincian kebutuhan anggaran secara terbuka dengan TAPK dari usulan awal Rp8,5 milyar setelah sampai 4 kali rasionalisasi menjadi Rp6,6 milyar dalam rapat terakhir dengan TAPK berdasarkan saran dari DPRK.
“Jangan menyebarkan berita bohong bahwa kami tidak bersedia membahas anggaran. Angka Rp4,5 miliar itu adalah angka yang dipaksakan kepada kami untuk diterima. Secara aturan, pembahasan anggaran Pilkada adalah antara TAPK dengan Panwaslih, bukan kami dengan DPRK,” tegasnya.
Wahyu menekankan bahwa Panwaslih diusulkan oleh DPRK dan dibentuk oleh Bawaslu untuk mensukseskan pemilihan kepala daerah, bukan untuk kepentingan mereka sendiri. Panwaslih diberikan hak untuk mengusulkan kebutuhan anggaran, bukan meminta anggaran.
“Kita harus memahami kedudukan masing-masing, sehingga tidak ada istilah memaksakan kehendak atau terkesan seperti besar patai bu ngon patai sambai. Apalagi menggunakan istilah anak durhaka,” imbuh Wahyu.
Saat ini, Panwaslih menunggu surat resmi dari pemerintah daerah terkait alokasi anggaran dan kemampuan pembiayaan pengawasan Pilkada. Semua mekanisme sesuai aturan Permendagri telah dijalankan Panwaslih, mulai dari mengusulkan anggaran hingga membahasnya dengan TAPK dan dimediasi oleh DPRK.
“Mekanisme apalagi yang harus kami jalani jika Pemda hanya mau membahas anggaran Rp4,5 miliar yang kami anggap tidak sesuai dengan kebutuhan pengawasan?” tutur Wahyu.
Sebelumnya, puluhan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Blangpidie menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPRK Abdya pada Rabu (3/7/2024), menuntut keseriusan Pemkab Abdya dalam menangani polemik penganggaran dana hibah untuk pengawasan Pilkada serentak 2024.
Menanggapi tuntutan demonstran, Ketua DPRK Abdya, Nurdianto, meminta Bawaslu RI untuk mengevaluasi kinerja Panwaslih jika tidak menerima anggaran pengawasan Pilkada sebesar Rp4,5 miliar.
“Jika Panwaslih Abdya tetap bersikukuh dengan tidak menerima anggaran Rp4,5 miliar, kami akan menyurati Bawaslu Pusat bahwa Panwaslih kabupaten Abdya perlu dievaluasi,” ungkap Nurdianto kepada para demonstran. (*)