Demi mempertahankan muruahnya sebagai penulis top, akhirnya, Fikar rutin menghadiri panggung-panggung literasi dan memberikan kilahan terkait penggalan akhir novel trilogi atas nama dirinya yang mengecewakan pembaca. Dan pada acara yang sedang kutonton di ponselku, ia pun kembali menuturkan dalihnya bahwa perubahan gaya bahasa pada setengah bagian seri ketiga itu, sengaja ia lakukan untuk memberikan warna berbeda dalam perkara teknik penulisan.

Sedangkan soal penamatan cerita yang dianggap polos dan klise, ia beralasan kalau itu adalah taktik pemfokusan untuk membuat para pembaca bisa memahami akhir cerita tanpa terdistorsi oleh konflik yang rumit dan bercabang-cabang pada rangkaian cerita sebelumnya.

Aku jelas menilai kalau pembelaan Fikar hanya mengada-ada. Alasannya sungguh tidak patut untuk diterima. Itu karena aku tidak sekadar menganggap ia gagal mengakhiri trilogi tersebut dengan baik, tetap juga karena aku memang menganggap ia tak layak untuk disebut sebagai penulis sedari awal.

Itu karena aku tahu kalau ia tak pernah benar-benar menulis trilogi tersebut, sebab aku tahu kalau yang menulisnya hingga hampir rampung adalah suamiku sendiri.

Aku tahu soal perkara itu setelah dahulu aku menyidiki asal muasal penghasilan suamiku yang besar, sebab seketika saja ia bisa membeli motor baru. Padahal, ia tak memiliki pemasukan setelah ia memilih berhenti bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko alat pertukangan demi fokus mengejar cita-citanya menjadi penulis besar yang tak kunjung tercapai.