Aku merasa harus mengungkapkan itu untuk mengembalikan kemurnian hasil imajinasinya, juga untuk menampatkan namanya pada posisi yang semestinya.
Belum lagi, aku sedang berada dalam keadaan hidup yang berat. Di tengah kondisi keuanganku yang lemah, aku mesti menanggung keperluan hidupku beserta dua orang anakku.
Karena itu, kurasa, sudah seharusnya aku mengambil hakku dan hak anak-anakku atas karya suamiku sendiri. Aku ingin ia tercatat sebagai penulis novel trilogi tersebut, agar hak moral atas karyanya, jadi atas namanya, dan hak ekonomi atas karyanya, jadi warisanku sekeluarga. Dengan begitu pula, aku harap namanya melambung sebagai penulis besar, sebagaimana impiannya dahulu, agar kami bisa mendapatkan berkahnya.
Lalu, pada waku mendatang, setelah namanya mengorbit di jajaran penulis top, aku berencana akan menerbitkan ulang sejumlah karyanya, juga menerbitkan naskah cerpen dan novelnya yang selama ini hanya ia arsipkan. Aku yakin orang-orang akan melariskannya demi membaca buah imajinasinya yang otentik. Kalau demikian, aku dan anak-anakku akan mendapatkan manfaat langsung dari kerja kerasnya.
Jikalau begitu, aku yakin, ia akan bahagia di alam sana, sebab ia berhasil menjadi penulis tersohor dan mampu menghidupi kami dengan buah karyanya.
Sejak dahulu, suamiku memang berhasrat untuk menjadi seorang penulis ternama. Ia ingin hidup dan menghidupi kami dengan pendapatan dari kerja-kerja kreatifnya. Untuk itu, ia pun berkerja keras menelurkan karya, hingga ia berhasil menerbitkan dua buku kumpulan cerpen, juga dua buah novel.