GLOBAL BANDA ACEH – Pemerintah Aceh bersama Tim Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (Kompak) menggelar pertemuan membahas rekomendasi pemanfaatan dana otonomi khusus (Otsus) di Aceh.

Kegiatan tersebut dibuka secara resmi oleh Sekda Aceh, Taqwallah, yang diikuti oleh seluruh Kepala SKPA di Aula Serba Guna Kantor Gubernur Aceh, Selasa (24/5/2022).

Pertemuan ini membacakan rekomendasi hasil dari kajian lembaga program kemitraan antara Pemerintah Indonesia dan Australia itu (Kompak) terhadap peranan dana otsus pada pembangunan di Aceh.

Diketahui, dana Otsus akan mengalami penurunan 1 persen Dana Alokasi Umum (DAU) di tahun 2023 dan akan berakhir di tahun 2028 mendatang.

Kajian itu, setidaknya menganalisis beberapa layanan dasar di mana pembiayaannya menggunakan dana Otsus, yaitu pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.

“Sebuah hadiah, dan sedekah Jariyah apabila dana Otsus ini bisa berlanjut. Namun saya yakin, dengan adanya tim Kompak melalui rekomendasinya, optimis dana ini akan berlanjut,” ungkap Taqwallah saat membuka kegiatan tersebut.

Oleh karena itu, Sekda Aceh mengucapkan terima kasih kepada Tim Kompak yang sudah memberikan perhatian dan tenaganya untuk membantu melalui kajian dan rekomendasinya dalam percepatan, serta mengefektifkan kesejahteraan dan pembangunan Aceh.

Taqwallah menerangkan, penurunan dana Otsus akan menimbulkan berbagai persoalan bagi pemerintah Aceh. Salah satunya penganggaran dinas/badan di Aceh yang selama ini sangat tergantung dari dana Otsus. Hal itu akan berdampak pada layanan dasar, kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah.

Sedangkan, pada tingkat kabupaten/kota, kata Taqwallah, dipastikan bahwa anggaran belanja modal bidang tertentu (terutama infrastruktur) akan ikut terdampak.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi penurunan dan berakhirnya dana Otsus, maka Pemerintah Aceh melakukan beberapa langkah, yaitu pertama mengidentifikasi kemungkinan sumber-sumber pendanaan baru bagi program-program bidang pendidikan dan kesehatan yang selama ini dibiayai oleh dana Otsus.

“Untuk mengantisipasi penurunan dana bidang kesehatan, kami mengalokasikan share penerimaan cukai rokok yang diterima kabupaten/kota untuk dikelola oleh provinsi dalam rangka mensupport JKA. Beberapa sumber pembiayaan lainnya yang juga bisa dioptimalkan adalah pembiayaan yang berasal dari social finance, seperti BMT, yang potensinya cukup besar,” jelasnya.

Kedua, tambah Taqwallah, Pemerintah Aceh perlu menyusun rencana transisi, untuk memastikan program-program bidang pendidikan dan kesehatan yang selama ini mendapat pembiayaan dana Otsus tetap dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Aceh. Untuk bidang kesehatan, salah satunya adalah dengan mengonversi JKA menjadi JKN

Ketiga, Pemerintah Aceh juga perlu menyusun strategi komunikasi yang tepat ke masyarakat terkait dengan penurunan dana Otsus yang dapat berdampak pada berkurangnya intensitas program-program pelayanan masyarakat. Hal ini penting untuk meminimalisir gejolak sosial yang mungkin muncul akibat penurunan tersebut.

Kemudian, Pemerintah Aceh juga meluncurkan buku “D.O.A, Dana Otsus Abadi” yang berisi kumpulan data penggunaan dana Otsus sejak tahun 2008 hingga 2020. Buku tersebut juga memuat data pembangunan berbagai proyek penting yang telah memberikan dampak cukup signifikan bagi perkembangan Aceh, pada Januari 2021 lalu.

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, Teuku Ahmad Dadek, menuturkan kajian ini memberikan dukungan argumentasi terhadap gambaran utuh tentang capaian dan dampak pemanfaatan dana Otsus terhadap percepatan kesejahteraan dan pembangunan Aceh.

Dadek menyatakan, selama periode 2008-2022, jumlah dana Otsus yang telah dialokasi oleh pemerintah pusat ke provinsi Aceh telah mencapai sekitar Rp 95.9 triliun.

Menurut UU Nomor 11 tahun 2006, Aceh masih akan menerima dana Otsus hingga tahun 2027. Namun, jumlah yang akan diterima menurun menjadi 1 persen Dana Alokasi Umum (DAU) mulai tahun 2023, dan akan berakhir pada tahun 2028.

Penurunan jumlah serta berakhirnya dana Otsus, kata Dadek, tentu akan berdampak terhadap percepatan pembangunan di Aceh seperti pembangunan rumah sakit regional, pengembangan Rumah Sakit Zainoel Abidin, kegiatan operasional dan Pemeliharaan Infrastruktur, kegiatan pemberdayaan perekonomian masyarakat dan penanganan kemiskinan di Aceh.

“Pemerintah Aceh bersama program Kompak telah mengkajikan peranan dana otonomi khusus terhadap pembangunan Aceh. Kajian itu untuk melihat sejauh mana dampak terhadap kondisi fiskal keuangan Aceh akibat penurunan dan berakhirnya dana Otsus pada tingkat layanan dasar dan kondisi sosial ekonomi di Aceh,” paparnya.

Kajian tersebut, kata Dadek juga melahirkan berbagai rekomendasi untuk mendukung peningkatan efektivitas pemanfaatan dana Otsus Aceh secara maksimal serta langkah antisipasi atas berkurangnya dan akan berakhirnya dana Otsus.

Sementara itu, Tim Ahli Kompak sekaligus akademisi ekonomi, Dr. Hefrizal Handra M.Soc, Sc, menyimpulkan berdasarkan hasil analisis tim, bahwa penurunan dana Otsus di tahun 2023 ke level 1 persen DAU dan habis di tahun 2028 akan berdampak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi, layanan dasar dan pelaksanaan keistimewaan Aceh.

Tingkat belanja Pemerintah (Pusat, provinsi, kabupaten/kota) yang relatif besar di Aceh, yaitu di level rata-rata 32 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), perlu dipertahankan terutama bagi upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat kemiskinan.

Lebih lanjut, Hefrizal menjelaskan, dengan berkurangnya dana Otsus menjadi 1 persen DAU diperkirakan akan menurunkan belanja Pemerintah sebesar 2 persen PDRB di tahun 2023 dan 4 persen PDRB di tahun 2028. Secara fiskal, PAD dan Dana Transfer lainnya yang diterima Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) belum dapat mengkompensasi penurunan Dana Otsus tersebut.

Sementara itu, ia mengungkapkan berdasarkan kajian dan analisa tim Kompak selama ini melahirkan rekomendasi bagi pemerintah Aceh yaitu; Pemerintah Aceh harus melakukan revisi amandemen terhadap UU 11/2006 untuk mempertahankan jumlah dana otonomi khusus dalam rangka stabilitas belanja berbagai program di Aceh, dengan penekanan kepada proses perencanaan yang lebih baik, prioritas yang lebih tepat sasaran, untuk efisiensi penggunaan dana dalam berbagai aspek.

“Tepat sasaran yang dimaksud adalah penurunan kemiskinan, peningkatan iklim investasi/berusaha, peningkatan layanan dasar, efektivitas pelaksanaan keistimewaan Aceh,” ungkap Hefrizal.

Hefrizal melanjutkan, bahwa periode mempertahankan kestabilan jumlah Dana Otsus, direkomendasikan paling tidak hingga 20 puluh tahun ke depan, namun perlu dikaitkan dengan upaya Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Aceh untuk optimalisasi sumber pendanaan dari PAD, ZIS, dan lainnya.

Kemudian, jika belum memungkinkan untuk melakukan revisi/amandemen terhadap UU 11/2006 karena keterbatasan waktu, perlu disediakan alternatif kebijakan untuk kompensasi penurunan Dana Otsus di tahun 2023 melalui mekanisme Undang-Undang APBN 2023. Dengan kata lain, sambil menunggu amandemen UU 11/2006, perlu disediakan format alternatif dalam mendukung kestabilan pendanaan bagi Pemerintah Aceh, antara lain melalui Afirmatif Spesifik Grant (DAK Afirmasi), ataupun melalui peningkatan belanja Kementerian/Lembaga (K/L). Alternatif kompensasi melalui mekanisme peningkatan belanja K/L di Aceh dapat difokuskan untuk mendukung pembangunan infrastruktur pelayanan publik, serta untuk pemberdayaan perekonomian rakyat melalui penyediaan kredit usaha rakyat (bersubsidi) dan pendampingan bagi UMKM.

Lebih lanjut, ia menyebutkan rekomendasi untuk memperkuat program di bidang ekonomi dengan strategi, Peningkatan/pertumbuhan peran dunia usaha/swasta, yang akan sangat bergantung kepada iklim investasi/berusaha di Aceh. Berbagai insentif untuk peningkatan peran dunia usaha perlu disiapkan di Aceh oleh berbagi level Pemerintahan sesuai kewenangan.

Tidak kalah pentingnya adalah mendorong tumbuh kembangnya UMKM di Aceh melalui program pemberdayaan yang masif dan terpadu serta penyediaan skema pembiayaan melalui lembaga keuangan syariah (tidak dengan label dana pemerintah).

Kemudian, mendorong peningkatan nilai tambah sektor primer, melalui peningkatan peran sektor manufaktur (industri pengolahan) yang berbasis kepada keunggulan komparatif Aceh (bagian dari strategi substitusi barang impor dari luar daerah di Aceh). Dan diperlukannya terobosan untuk mendorong tumbuhnya sektor jasa di Aceh, karena potensinya belum tergarap secara optimal.

Lebih lanjut, Hefrizal mengemukakan rekomendasi untuk mengantisipasi penurunan dan berakhirnya Dana Otsus, yakni pertama mengidentifikasi kemungkinan sumber pendanaan baru bagi program-program Bidang Pendidikan dan Kesehatan yang selama ini dibiayai oleh Dana Otsus.

Contoh, untuk mengantisipasi penurunan Dana Bidang Kesehatan adalah dengan mengalokasikan share penerimaan cukai rokok yang diterima Kab/Kota untuk dikelola oleh Provinsi dalam rangka mensupport JKA. Beberapa sumber pembiayaan lainnya yang juga bisa dioptimalkan adalah pembiayaan yang berasal dari social finance, seperti BMT, yang potensinya cukup besar.

Kedua, Pemerintah Aceh perlu menyusun rencana transisi, untuk memastikan program-program Bidang Pendidikan dan Kesehatan yang selama ini mendapat pembiayaan Dana Otsus tetap dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Aceh. Untuk Bidang Kesehatan, salah satunya adalah dengan mengonversi JKA menjadi JKN.

Ketiga, Pemerintah Aceh juga perlu menyusun strategi komunikasi yang tepat ke masyarakat terkait dengan penurunan Dana Otsus yang dapat berdampak pada berkurangnya intensitas program-program pelayanan masyarakat. Hal ini penting untuk meminimalisir gejolak sosial yang mungkin muncul akibat penurunan tersebut.(*)