“Alur berfikirnya ketua DPRA sangat disayangkan sehingga berat dugaan kami seolah-olah ada pembisik yang berupaya mendekonstruksi perjalanan LKS di Bumi Serambi Makkah yang telah disahkan,” tambah pria yang akrab disapa Ustadz Iin ini.
Anehnya lagi, kata dia, Ketua DPRA Pon Yahya justru menjustifikasi argumentasinya dengan mengatasnamakan masyarakat mengeluh dengan layanan Bank Syariah di Aceh dan berusaha mendukung Bank Konvensional untuk bisa hadir kembali di Aceh.
“Logika ini tentu kurang mengena dan dalam beberapa sisi akhirnya hanya terlihat sebagai sebuah ekspresi islamophobia belaka,” sebut Ustadz Iin.
Menurutnya, kritik terhadap layanan BSI sangat diperlukan demi penyempurnaan dan perbaikan sistem menajemen perbankan. Biasanya, kata Ustadz Iin, kritik yang berniat baik untuk membangun, jarang bisa terlontar melalui pemikiran yang sekedar ‘asal’ saja seperti lontaran ketua DPR Aceh itu.
Dia bahkan menyebut, bahwa kritik yang dilayangkan Pon Yahya itu tidak mengakar hanya akan memantik instabilitas sosial, bersifat provokatif dan tidak jarang menghendaki muara pada chaos. Tentunya idealisme yang diimpor dari Barat, bukan produk “local wisdom” masyarakat Aceh.
Demikian juga, katanya, sifat pemikirannya yang kurang komprehensif dalam mencermati persoalan dimungkinkan bersumber dari internalisasi worldview barat yang bersifat dikotomis sehingga kurang handal dalam menjelaskan secara totalitas relasi antara fenomena dan realitas.
“Hampir 98,56 % rakyat Aceh adalah muslim yang harus menjalankan hukum islam dan qanun LKS adalah bagian dari pada Syari’at Islam yang sebelumnya berpuluh-puluh abad dalam sistem riba, seharusnya kita bersatu mempertahankan dan melawan bagi yang berusaha mengganggu pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Bahkan, sekarang kita seharusnya terus berupaya melahirkan qanun lainya agar pelaksanaan Syariat Islam berjalan secara kaffah,” jelas Ustadz Iin.