“Jadi, sangat tidak layak sekaliber ketua DPRA mengajak kembali kepada konsep konvensional yang seharusnya dia mendukung penerapan LKS di Aceh,” kata Ustadz Iin.
BLANGPIDIE – Dewan Dakwah Aceh Barat Daya (Abdya) sangat menyesalkan pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Saiful Bahri atau Pon Yahya terkait dengan rencana DPRA akan merevisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh.
Rencana merevisi qanun tersebut dengan harapan agar Bank Konvensional bisa kembali beroperasi di Aceh, dinilai Dewan Dakwah adalah sebagai bentuk upaya pelemahan terhadap pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Hal ini disampaikan Ketua Dewan Dakwah Abdya, Iin Supardi, S.S., M.E.I, menanggapi berita Serambi berjudul “DPRA akan Revisi Qanun LKS Agar Bank Konvensional Bisa Beroperasi Kembali di Aceh.”
“Jika dibaca argumen yang disampaikan oleh ketua DPRA (Pon Yahya), kami melihat sebagai bentuk upaya pelemahan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang telah didapatkan dengan pengorbanan dan perjuangan sangat panjang,” kata Ketua Dewan Dakwah Abdya, Iin Supardi, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (13/5/2023).
Padahal, lanjut Iin Supardi, jika yang bermasalah itu adalah layanan BSI, maka seharusnya Pon Yahya hanya mengkritisi sistem layanan di BSI saja atau bisa saja mengajak nasabah untuk beralih kepada Bank Syariah lain di Aceh, seperti Bank Aceh Syariah atau Bank Syariah lainnya.
“Bukan melakukan musyawarah dengan tujuan agar merevisi qanun LKS supaya bisa beroperasi kembali Bank Konvensional di Aceh yang dalam sistem ekonomi islam termasuk transaksi ribawi yang dilarang dalam islam,” katanya.
“Alur berfikirnya ketua DPRA sangat disayangkan sehingga berat dugaan kami seolah-olah ada pembisik yang berupaya mendekonstruksi perjalanan LKS di Bumi Serambi Makkah yang telah disahkan,” tambah pria yang akrab disapa Ustadz Iin ini.
Anehnya lagi, kata dia, Ketua DPRA Pon Yahya justru menjustifikasi argumentasinya dengan mengatasnamakan masyarakat mengeluh dengan layanan Bank Syariah di Aceh dan berusaha mendukung Bank Konvensional untuk bisa hadir kembali di Aceh.
“Logika ini tentu kurang mengena dan dalam beberapa sisi akhirnya hanya terlihat sebagai sebuah ekspresi islamophobia belaka,” sebut Ustadz Iin.
Menurutnya, kritik terhadap layanan BSI sangat diperlukan demi penyempurnaan dan perbaikan sistem menajemen perbankan. Biasanya, kata Ustadz Iin, kritik yang berniat baik untuk membangun, jarang bisa terlontar melalui pemikiran yang sekedar ‘asal’ saja seperti lontaran ketua DPR Aceh itu.
Dia bahkan menyebut, bahwa kritik yang dilayangkan Pon Yahya itu tidak mengakar hanya akan memantik instabilitas sosial, bersifat provokatif dan tidak jarang menghendaki muara pada chaos. Tentunya idealisme yang diimpor dari Barat, bukan produk “local wisdom” masyarakat Aceh.
Demikian juga, katanya, sifat pemikirannya yang kurang komprehensif dalam mencermati persoalan dimungkinkan bersumber dari internalisasi worldview barat yang bersifat dikotomis sehingga kurang handal dalam menjelaskan secara totalitas relasi antara fenomena dan realitas.
“Hampir 98,56 % rakyat Aceh adalah muslim yang harus menjalankan hukum islam dan qanun LKS adalah bagian dari pada Syari’at Islam yang sebelumnya berpuluh-puluh abad dalam sistem riba, seharusnya kita bersatu mempertahankan dan melawan bagi yang berusaha mengganggu pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Bahkan, sekarang kita seharusnya terus berupaya melahirkan qanun lainya agar pelaksanaan Syariat Islam berjalan secara kaffah,” jelas Ustadz Iin.
Ia juga menerangkan, apabila kita membaca alquran surat ke 45 yaitu Aljasiyah pada ayat 18 yang artinya adalah ”Kemudian, kami jadikan engkau (Nabi Muhmmad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.”
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa kita wajib mengikuti dan menjalankan syariat Allah dan tidak berdasarkan kepada keinginan hawa nafsu manusia tertentu yang berusaha melawan kepada ketentuan Allah dan bisa terjerumus dalam kesyirikan.
“Jadi, sangat tidak layak sekaliber ketua DPRA mengajak kembali kepada konsep konvensional yang seharusnya dia mendukung penerapan LKS di Aceh. Apakah qanun syariah tidak manusiawi dengan hukum yang telah ditetapkannya,”? kata Ustadz Iin.
Upaya-upaya penghapusan Qanun LKS, menurut Ustadz Iin Supardi, sejatinya adalah pelanggaran terhadap pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Dari sini, menurutnya terlihat jelas adanya kerancuan dalam pola berfikir seorang Pon Yahya.
Karena, Syariat Islam merupakan dambaan dan jiwa bagi masyarakat Aceh. Generasi muda Serambi Mekkah sudah selayaknya semakin menyempurnakan warisan kultural dari indatu yang telah dijaga selama bertahun-berabad dengan linangan darah dan air mata.
“Saran saya kepada ketua DPR Aceh Bapak Saiful Bahri alias Pon Yaya. mohon belajar kembali tentang konsep Syariah secara kompherehsif supaya cinta kepada syariah, kerena tak kenal maka tak sayang, setelah kenal sayangpun datang. Wallahu ‘allam,” kata Ustadz Iin Supardi. (*)
Editor : Salman