Aceh dalam beberapa dekade ini tidak terlepas dari jeratan pemimpin yang bermental al-‘athif. Kemiskinan yang melanda negeri paling ujung pulau Sumatera ini menempati peringkat utama. Para pemimpin dan penguasa terindikasi sebaga pelaku al-‘athif yang selalu menghitung laba lebih untuk dirinya, terkadang mereka tidak segan-segan menjual kekuasaan untuk kepentingan yang murah untuk mencapai kekayaan dunia.
Prilaku al-‘athif dapat dilihat dari cara para pemimpin di daerah menetapkan fee proyek dalam setiap satuan pekerjaan. Penetapan fee proyek dalam jumlah tertentu begitu santer kita dengar dengan jumlah yang bervariasi, ada yang menetapkan dengan jumlah sepuluh persen bahkan mencapai dua puluh persen. Penetapan fee proyek oleh penguasa merupakan bentuk tindakan al-‘athif dalam rangka menghitung lebih laba untuk dirinya. Pemotongan fee diawal pekerjaan saat pelelangan proyek merupakan bentuk kecurangan tidak hanya dilarang secara undang-undang juga berlawanan dengan prinsip moral yang diajarkan Islam.
Beredar isu pejabat ditangkap atas kasus dugaan korupsi di Aceh di salah satu kabupaten kota di Aceh sebagai tanda prilaku al-‘athif telah terjadi pada kekuasaan tertinggi di tingkat kabupaten, dan ini juga berkemungkinan berlaku di tingkat propinsi dan nasional. Pelaku al-‘athif berkemungkinan juga berlaku di kabupaten-kabupaten yang lain di Aceh.
Setelah penguasa di salah satu daerah di Aceh ditangkap karena korupsi sepertinya momen yang tepat bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengungkapkan keberadaan al-‘athif. Dalam bahasa kekuasaan cara seperti ini juga disebut prilaku korup. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah tindakan yang membawa pelaku di labeli al-‘athif. Aceh telah ditetapkan sebagai propinsi termiskin di Sumatera, keberadaan pemimpin dan pejabatnya dalam keadaan kaya raya sementara rakyatnya miskin. Keberadaan mereka seperti kebal hukum oleh karena kekuasaan, atau keberadaan mereka disinyalir sebagai orang kuat.
Haruskah Aceh ke depan dibiarkan dipimpin oleh orang-orang yang bermental al-‘athif. Jika saja keberadaan al-‘athif tidak dimunculkan ke permukaan melalui pembuktian kecurangan dalam mengelola kekuangan negara diungkapkan ke publik dan pelakunya dihukum seberat-beratnya, maka kelompok al-‘athif terus diternak. Mereka telah memperkaya diri dan keluarganya dengan gaya hidup yang hedon sementara rakyatnya menuai kemiskinan dan kepapaan.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp