” Sejak zaman dulu kita ketahui bersama, nasib yatim piatu di negeri ini sangat miris, sungguh memprihatinkan, tidak jelas, masa depan suram, bahkan terlunta – lunta, hanya bisa berharap dari belas kasihan, dan tak jarang mereka malah hanya jadi objek pencitraan politik belaka bagi mereka yang ingin berebut jabatan dan kekayaan, lalu meninggalkannya begitu saja,” ungkap putera Idi Rayeuk tersebut.
Aktivis HAM Aceh itu menegaskan bahwa negara sebagai pemangku kewajiban harus mampu memenuhi tuntutan itu, karena nasib yatim piatu merupakan tanggungjawab negara dan bagian dari kewajiban dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia.
“Jadi mereka itu hidupnya mesti ditanggung penuh oleh negara, karena nasib mereka adalah bagian tanggungjawab negara dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia,” ujarnya.
Ronny meyakini Pemerintah Aceh, khususnya Aceh Timur mampu menyanggupi hal itu di kemudian hari melalui berbagai sumber anggaran, termasuk dari segenap hasil kekayaan alam, terutama yang selama ini dikeruk oleh perusahaan -perusahaan besar di Aceh, khususnya Aceh Timur.
” Lebih bagus nasib yatim piatu itu sebagai generasi bangsa yang dijamin kebutuhannya dari kebutuhan sehari – harinya, dan kebutuhan pendidikannya sampai tamat kuliah, daripada Aceh, khusunya Aceh Timur, hanya memfasilitasi dan membiayai semua kebutuhan nafsu syahwat para pejabat yang rakus dengan fasilitas anggaran yang berlimpah buat para pejabat yang tak jelas sama sekali manfaatnya,” cetus pengkritik cadas itu.
Ketua Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Provinsi Aceh itu berharap tuntutannya dapat dipenuhi, meski pun baru terealisasi di kemudian hari. Selain yatim – piatu, dia juga berharap jaminan hidup dan pendidikan yang berkecukupan itu juga dapat diperuntukan bagi anak – anak terlantar di seluruh Aceh.