Oleh: Dr. Khairuddin, S.Ag., M.A.

Beberapa waktu lalu, dalam perjalanan tugas dari ibu kota provinsi menuju salah satu kabupaten, saya dan rekan-rekan singgah di sebuah warung kopi sederhana sekitar pukul 23.00 WIB. Di tengah kesunyian malam, tempat itu justru ramai. Namun yang menarik perhatian bukan sekadar keramaian, melainkan pemandangan yang nyaris seragam: puluhan anak muda duduk melingkar, tangan kanan memegang rokok, tangan kiri menggenggam ponsel, mata terpaku pada layar, dan telinga hanya sesekali menangkap tawa saat menang dalam game.

Salah seorang rekan berbisik, “Pak, kalau begini keadaan generasi kita… kira-kira apa yang akan terjadi sepuluh atau dua puluh tahun ke depan?”

Saya menjawab sambil tersenyum pahit, “Mungkin nanti negara ini akan dibuat seperti game juga.”

Sekilas jawaban itu seperti gurauan. Namun sesungguhnya, ia mengandung keresahan yang dalam. Sebab, kita sedang menyaksikan lahirnya generasi baru yang dibesarkan oleh dunia virtual, generasi yang mungkin kehilangan sentuhan dengan realitas.

Krisis Arah dan Identitas

Generasi muda hari ini berada dalam pusaran teknologi yang begitu kuat. Dunia digital menawarkan hiburan tanpa henti, pencapaian instan, dan ruang pelarian dari kenyataan hidup yang seringkali keras. Game menjadi candu, media sosial menjadi panggung identitas palsu, dan ruang nyata terasa semakin membosankan.

Kondisi ini bukan hanya menyangkut gaya hidup. Ini tentang krisis arah dan identitas. Ketika hidup hanya dipahami sebagai “yang penting enjoy”, maka makna hidup, cita-cita besar, bahkan semangat berbangsa bisa menguap begitu saja.

Pertanyaannya: siapa yang salah? Anak mudakah? Ataukah kita yang lebih dulu dewasa namun lalai memberikan arah?

Kegelisahan yang Membesar

Hari ini, keresahan semakin meluas. Orang tua mengeluh anak-anak lebih patuh pada algoritma TikTok daripada nasihat mereka. Guru kebingungan karena pelajaran moral dan kebangsaan terasa asing di telinga siswa. Tokoh masyarakat mengaku kehilangan pengaruh karena suara mereka tenggelam oleh konten viral. Namun, kegelisahan ini seringkali hanya berhenti sebagai keluhan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp