Banda Aceh, Acehglobal – Ketua Ikatan Kontraktor Aceh (IKA), Muzakir, mendesak pemerintah Aceh untuk menegakkan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa, baik melalui e-katalog, tender terbuka, maupun penunjukan langsung (PL). Ia menyoroti maraknya dugaan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah.

Menurut Muzakir, praktik kecurangan dalam lelang proyek bukan lagi rahasia. Ia menilai, pemenang tender kerap sudah ditentukan sebelum proses lelang dimulai, mencederai asas keadilan dan persaingan sehat antar penyedia jasa.

“Sudah menjadi rahasia umum, pemenang tender proyek biasanya sudah ditentukan sejak awal. Praktik seperti ini mencederai prinsip keadilan dan persaingan sehat,” kata Muzakir, Senin (21/7/2025).

Ia juga mengungkap adanya dugaan permainan “setor-menyetor” yang menjadi syarat tak tertulis dalam memenangkan proyek. Bukan kompetensi atau kualitas penawaran yang menjadi acuan, melainkan besarnya setoran yang diberikan kepada oknum tertentu.

Muzakir menyebut, banyak proyek di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) lebih banyak menggunakan sistem Penunjukan Langsung (PL) dan E–Purchasing melalui e-katalog. Menurutnya, hal ini sering dimanfaatkan dengan memecah paket proyek agar tidak perlu melalui mekanisme tender.

“Seperti yang terjadi dalam kegiatan tahun 2024 di Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan tahun 2025 di Dinas Pendidikan Aceh, proyek-proyek besar justru dialihkan menjadi PL atau e-katalog,” ungkapnya.

Ia menilai ada celah hukum yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengakali aturan pengadaan. Proyek yang semestinya ditenderkan justru dipecah agar bisa dialihkan ke PL atau e-katalog, meskipun nilainya besar.

“Kalau kita cek LPSE Provinsi Aceh, kebanyakan proyek ditayangkan sebagai PL. Padahal di aplikasi SIRUP, banyak kegiatan yang sebenarnya harus melalui proses tender,” tambah Muzakir.

Zakir, sapaan akrabnya, menilai praktik seperti ini melanggar sejumlah ketentuan hukum. Ia menyinggung Pasal 3 dan 5 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi.

Jika terbukti ada intervensi dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Pengguna Anggaran (PA) untuk mengatur proyek, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.

Muzakir menjelaskan, persekongkolan dalam pengadaan biasanya terbagi dalam tiga bentuk: horizontal, vertikal, dan kombinasi keduanya. Ketiganya sama-sama merugikan dan merusak ekosistem bisnis yang sehat.

Persekongkolan horizontal melibatkan sesama peserta tender yang sepakat menentukan pemenang sejak awal. Dalam praktiknya, peserta yang dikalahkan biasanya mendapat bagian pekerjaan sebagai subkontraktor atau dijanjikan proyek di kesempatan berikutnya.

Sementara persekongkolan vertikal terjadi antara peserta tender dan panitia lelang. Dalam skema ini, panitia memberi kemudahan kepada peserta tertentu untuk memenangkan tender, meski prosedur formal tetap dijalankan.

Adapun kombinasi horizontal dan vertikal terjadi saat seluruh pihak—panitia, peserta, dan pengguna jasa—ikut serta dalam pengaturan pemenang. Proses tender dijalankan sebagai formalitas administratif semata.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, praktik persekongkolan ini disebut sebagai “Konspirasi Usaha”, yakni kerja sama antar pelaku usaha untuk menguasai pasar demi kepentingan kelompok tertentu.

Atas kondisi tersebut, Muzakir menyerukan agar aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan segera turun tangan. Ia meminta praktik kotor dalam pengadaan barang dan jasa di Aceh segera diberantas.

“KPK dan Kejaksaan harus bergerak. Praktik seperti ini sudah sangat meresahkan dan merusak iklim usaha,” tegasnya. (*)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp