Namun demikian, janji susu gratis Prabowo bergaung di tengah ironi bahwa 80% bahan baku susu yang beredar di Indonesia adalah hasil impor. Dari kebutuhan susu di Indonesia yang sekitar 4,4 juta ton per tahun, produksi susu segar dalam negeri (SSDN) tak sampai 1 juta ton. Persisnya hanya 968 ribu ton, sedangkan sisanya harus diimpor—mayoritas dari Australia dan Selandia Baru.

Kondisi tersebut telah terjadi bertahun-tahun. Alhasil, program susu gratis dikhawatirkan justru menguntungkan importir dan peternak asing. Indikasinya terlihat dari gelagat Tim Prabowo-Gibran yang kerap bagi-bagi susu kemasan ultra high temperature (UHT), bukan susu segar pasteurisasi.

“Kalau susu segar dari peternak lokal akan bagus sekali. [Tapi kalau susu UHT] hampir pasti dari luar (impor),” kata Nanang.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, program susu gratis yang meningkatkan impor bertolak belakang dengan konsep nasionalisme ekonomi yang selama ini diusung Prabowo. Sebab, alih-alih mengurangi ketergantungan impor, kebijakan itu justru akan mengarah pada bertambahnya beban impor.

“Impor pasti akan meningkat karena kebutuhan domestik tanpa program susu gratis pun sudah cukup berat dipenuhi produsen domestik. Jadi, program ini menguntungkan para peternak sapi di Selandia Baru, Australia, dan negara-negara lain,” ujar Bhima.

Menghidupkan Peternakan Domestik

Pengamat peternakan Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf menghitung, program susu gratis sedikitnya membutuhkan tambahan sekitar 130 juta liter atau 130 ribu ton susu per tahun. Jumlah itu pun hanya mencakup murid SD sejumlah 24 juta orang, dengan pemberian susu sebanyak 100 ml per anak seminggu sekali.