Dua aturan tersebut bertujuan melindungi peternakan sapi perah dalam negeri. Salah satu kebijakan itu menetapkan jumlah produksi dalam negeri yang wajib diserap oleh industri susu, sesuai dengan proyeksi produksi dan kebutuhan masyarakat pada tahun tersebut, yang dibuktikan dengan bukti serap.

Hasilnya, rasio impor susu dan produksi SSDN mencapai 50%-50% pada 1995. Padahal tahun 1970–1980an, rasio impor susu mencapai 95% sedangkan SSDN hanya 5%.

Sayangnya, saat krisis ekonomi melanda pada 1998, atas tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), pemerintah Indonesia mencabut SKB maupun Inpres tersebut. Alhasil, hingga kini, tak ada lagi proteksi bagi peternak sapi perah dalam negeri.

“Kami tidak pernah berhenti menuntut pemerintah agar mengeluarkan kebijakan minimal selevel keppres/inpres supaya ada jaminan usaha untuk rakyat, juga iklim yang kondusif untuk peternakan sapi perah. Kalau perlu, bukti serap dihidupkan lagi. Kalau Jokowi berani menyetop ekspor nikel dan berani melawan WTO soal sawit, apa susahnya dengan [sapi perah] ini?” kata Teguh.

Menyediakan Indukan Sapi Perah

Pengembangan peternakan dalam negeri untuk menopang program susu gratis juga perlu dibarengi dengan penyediaan indukan sapi perah, sebab populasi sapi perah saat ini tak memadai. Banyak sapi telah terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK).

“Sapi yang terkena PMK dan sembuh, ambing untuk produksi susunya banyak yang mengalami kerusakan permanen, tidak bisa pulih lagi. Tadinya bisa memproduksi 10 liter per hari, sekarang 7 liter per hari saja sudah bagus sekali,” ucap Nanang.