Dedi kemudian merujuk kebijakan di Belanda yang mengatur 1 hektare lahan diperuntukkan bagi 2 ekor sapi. Setidaknya, menurut Dedi, Indonesia mencoba menerapkan kebijakan 1 hektare lahan untuk 15 ekor sapi.
“Kalau mau menambah produktivitas, perlu menambah kebijakan lahan. Banyak lahan Perhutani yang bisa digunakan peternak dengan sistem sharing (bagi hasil), bukan gratis. Harus ada kebijakan langsung dari Presiden sehingga [lahan itu] bisa digunakan peternak sapi perah lokal,” jelas Dedi.
Terhadap berbagai kekhawatiran dan usulan itu, anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, menyatakan capresnya berkomitmen memprioritaskan produksi susu dari peternak lokal sekaligus mengembangkan peternakan sapi perah. Meski demikian, untuk memenuhi kebutuhan susu gratis, impor tak bisa dihindari.
“Menggenjot produksi sapi perah perlu waktu, sehingga tahun-tahun awal—mau tidak mau—harus ada [susu] yang diimpor,” kata Dradjad.
Soal teknis distribusi susu di tiap daerah apakah menggunakan susu segar pasteurisasi atau susu kemasan UHT, Dradjad menyebut akan menyesuaikan dengan kondisi setempat.
“Mungkin kalau daerahnya jauh, susah bawa susu segar, akan didesentralisasikan, dikelola dinas pendidikan setempat atau dinas terkait,” ucapnya.
Susu segar memiliki kandungan nutrisi lebih tinggi dari UHT, namun susu UHT lebih tahan lama.
Bagaimanapun, Ketua Umum PPSKI Nanang Subendro berpendapat, kebijakan susu gratis kurang realistis di tengah kondisi peternakan sapi perah yang menyusut saat ini, dan ketiadaan proteksi bagi peternak sapi lokal.