Oligarki memang paling berbahaya bagi sebuah negeri yang subur dan kaya raya, elit-elit sebagai aktor pemodal itu menyatu dan berkelindan untuk menjajah rakyat dengan berbagai macam polesan dan manipulasi yang legal dalam menyempurkan piramida oligarkinya!
Pada saat rakyat menagih janji politik, penguasa malah sibuk menebar satire dan diksi yang sungguh menyakitkan. Kini rakyat semakin tertindas oleh harga sembako yang semakin tak terkendali. Namun kondisi demikian bukan menjadi cambukan tetapi mala di antara mereka ada yang tertawa riang lalu meminta rakyat agar menggoreng dengan air dan cukup makan dua pisang. Lucu dan sedih bukan !
Bahkan yang lebih paling naif, mereka yang menjilat ketiak penguasa malah sibuk mengobral isu wacana menunda pemilu dengan alasan negara menghadapi kegoncangan ekonomi akibat pandemi.
Pada saat yang sama mereka juga mengusulkan agar yang berkuasa melanjutkan kekuasaannya menjadi tiga periode. Jika demikian keadaannya, mengapa pindah ibukota negara dipaksa untuk segera, dapat diketahui secara awam sejatinya mereka gagal, bukan saja gagal memimpin tapi juga gagal mendengar jeritan pemilihnya.
Berbagai bidang kehidupan mengalami degradasi karena penguasa tak punya peta jalan dalam mengarahkan perbaikan. Di tengah kondisi yang sedemikian sengit, lembaga survei malah diduga sibuk memamer angka yang membuat penguasa terus di atas angin.
Mereka menuangkan tetesan kepercyaan kepada rakyat. Walaupun rakyat tengah di himpit sejumlah kebijakan yang tidak benar-benar pro rakyat. Beberapa Janji politik di musim pemilu lalupun hanya sekadar masturbasi janji.
Pada kondisi demikian, rakyat dipaksa untuk bersabar. Bahkan tak sedikit mereka yang menjadi pawang maupun penjilat dadakan, lalu saban hari mengumandangkan dengan satu ayat “sabar”. Sejatinya sabar adalah ayat agama yang pada sisi lain kerap mereka lecehkan.
Jelas, oligarki seperti ini hanya menguntungkan kelompok lingkaran penguasa dan kelompok regulator di sekitar kekuasaan sebagai pelaku usaha yang membuat peraturan hanya untuk menguntungkan kelompok elitnya, bukan dari masyarakat kecil dan menengah seperti yang selama penguasa citrakan, (Saya juga rakyat kecil).
Maka dengan kondisi yang sedemikian pesakitan ini, dari penulis hanya satu kalimat “Mengupatlah, dan muliakan kepada mereka yang pantas di muliakan, namun sesungguhnya mereka yang duduk di kursi-kursi penting parlemen tidaklah pantas untuk dimuliakan, terlalu banyak fakta dan sejarah yang menunjukan mereka tidak mulia.”
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Rovki Muhammad Akbar.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News