Banda Aceh, Acehglobal — Hasil investigasi Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menemukan adanya sejumlah pejabat UIN Ar-Raniry memiliki jabatan rangkap di Majelis Pendidikan Aceh (MPA). Padahal, dalam aturan MPA hal tersebut tidak dibenarkan.

“Dari hasil investigasi yang kami lakukan menemukan adanya sejumlah pejabat setara struktural di UIN Ar-Raniry melamar dan menjadi pengurus MPA. Hal ini tidak dibenarkan dalam aturan perekrutan di MPA,” kata Safaruddin dalam siaran persnya, Sabtu (25/5/2024).

Terkait permasalahan tersebut, YARA telah menyurati Rektor UIN Ar-Raniry. Rektor pun telah memberikan jawaban atas surat YARA tersebut.

“Kami apresiasi Rektor UIN Ar-Raniry Prof Mujiburrahman yang cepat merespon surat kami pada Kamis lalu, bertepatan dengan hari libur nasional. Ini menunjukkan Rektor sangat serius dan peka terhadap permasalahan yang ada di Aceh,” ujar Safaruddin.

Safaruddin mengatakan, ada tiga hal penting dari surat Rektor UIN Ar-Raniry terkait rangkap jabatan petinggi UIN di MPA, yaitu:

Pertama, Rektor UIN Ar-Raniry tidak pernah mengeluarkan izin atau rekomendasi kepada Prof Dr Syahrizal MA dan Dr Ajidar Matsyah MA untuk ikut seleksi dan menjadi pengurus MPA.

Kedua, Rektor UIN Ar-Raniry menyatakan Prof Dr Syahrizal MA masih menjabat sebagai Ketua S3 Prodi Fiqih Modrn pada Pascasarjana UIN Ar-Raniry.

Ketiga, Rektor UIN Ar-Raniry menyatakan Dr Ajidar Matsyah MA masih sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry.

“Dari surat itu, dapat disimpulkan bahwa para pejabat UIN Ar-Raniry yang rangkap jabatan di MPA adalah inisiatif sendiri dalam mencari jabatan tambahan walau di tempat kerja utamanya sudah diberikan jabatan strategis untuk mengurus mahasiswa,” katanya.

Safaruddin menambahkan, pihaknya mengapresiasi salah satu Akademisi yang menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry yaitu Profesor ES telah mendapatkan ijin tertulis dari Rektor UIN Ar-Raniry untuk menjadi anggota MPA, dan beliau untuk periode ini tidak mendaftarkan diri kembali, karena kesibukan sehingga tidak cukup waktu untuk di MPA dan akan berkonsentrasi mengurus kegiatan di kampus, dan beliau itu dulu masuk ke MPA menggantikan orang lain, bukan masuk mendaftarkan diri dengan berbagai persyaratan.

“Akademisi seperti beliau perlu menjadi panutan bagi akademisi lain dalam mengemban tanggung jawab untuk memajukan pendidikan di Aceh,” kata Safaruddin.

Masih kata Safaruddin, wajar kondisi pendidikan Aceh mengalami kemunduran.

“Habis dana APBA di MPA setiap tahun untuk menggaji mereka walau mutu pendidikan tak membaik. Kasihan ya Aceh ini,” ujar Safar bernada sendu.

“Terang benderang aturan dari MPA yang tidak membenarkan seseorang rangkap jabatan di lembaga utama, lembaga keistimewaan dan lembaga khusus di Aceh,” kata Safar yang tamatan S2 di Universitas Wisnuwardhana Malang.

“Nyatanya ada intelektual kampus Islam yang tak menghormati etika ini. Ada pula yang berdalih jabatan di kampus dan lembaga keistimewaan tak boleh disetarakan dengan jabatan lain,” beber Safar.

“Ada saja cara olah. Gimana ya mereka mengajarkan soal etika ke mahasiswa?” tanya Safaruddin yang juga mahasiswa S3 Ilmu Hukum di salah satu kampus ternama di Indonesia.

Ditambahkan, pihak YARA saat ini sedang melakukan kajian tentang Lembaga-lembaga Keistimewaan di Aceh dan implementasinya.

“Status keistimewaan dan kekhususan Aceh menjadi konsen kami di YARA. Kami berupaya agar keistimewaan Aceh menjadi nyata dan dapat pendanaan rutin dari APBN,” ujar dia.

Jadi, lanjut Safaruddin, jangan main-main tentang keistimewaan Aceh ini.

“Apalagi, sekedar foya-foya dengan gaji, perjalanan dinas dan lain-lain. Sekali lagi, kami konsen dalam masalah ini,” ujar Safaruddin.(*)