“Artinya, ada perluasan wilayah tambang yang tidak sesuai dengan rekomendasi bupati. Ini cacat hukum dan administrasi,” kata Ibrahim.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan adanya dugaan intervensi terhadap kepala desa dalam penerbitan rekomendasi gampong. Dari tujuh gampong yang masuk dalam wilayah IUP, enam di antaranya mengeluarkan rekomendasi tanpa musyawarah desa dan
tanpa permohonan resmi dari perusahaan.

“Beberapa kepala desa mengaku ditekan oleh pejabat saat itu. Ada yang dipanggil ke kantor bupati, ada juga yang didatangi LO perusahaan. Sebagian mengaku ditipu karena diberi informasi bahwa rekomendasi hanya untuk survei, bukan izin operasi tambang,” jelasnya.

Melanggar Qanun dan Terancam Rusak Lingkungan

Koalisi Masyarakat Kuala Batee juga menilai penerbitan izin tersebut tidak sesuai dengan Qanun Kabupaten Aceh Barat Daya Nomor 17 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2013–2033, yang secara tegas melarang kegiatan tambang di kawasan perbukitan dengan sumber mata air dan permukiman.

“Lokasi tambang berada di kaki perbukitan yang menjadi sumber air utama bagi tujuh desa. Sungai-sungai di kawasan itu adalah sumber air petani, peternak, dan kebutuhan konsumsi warga,” ujar Ibrahim.

Ia juga menyoroti adanya dugaan permainan dalam proses rekomendasi teknis di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas ESDM Aceh, yang diduga tidak teliti dalam menelaah rekomendasi bupati. Akibatnya, izin dikeluarkan meski dokumen pendukung tidak sesuai dengan data awal.

“Perusahaan bahkan diduga memanipulasi data perizinan, termasuk luas wilayah dan daftar gampong dalam IUP. Ini harus diusut tuntas,” tegasnya.

Ibrahim menambahkan, perjuangan masyarakat Kuala Batee bukan semata penolakan terhadap perusahaan, tetapi bentuk tanggung jawab menjaga lingkungan dan keselamatan warga.

“Kami akan terus melawan sampai PT Abdya Mineral Prima angkat kaki dari Kuala Batee,” pungkasnya. (*)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp