Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
Puasa Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tak makan dan tak minum, tetapi sebuah ibadah yang penuh makna dan hikmah. Setiap amal yang kita lakukan, termasuk puasa, bergantung pada niat.
Niat adalah ruh dari setiap ibadah. Ibarat tubuh tanpa ruh tidak akan dapat bergerak dan tidak akan dapat melakukan apapun. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Antara niat dan ibadah erat sekali kaitannya. Berdasarkan hadits ini, ternyata sah atau tidaknya suatu perbuatan ibadah sangat bergantung pada niat. Kedudukan niat sangat menentukan kualitas perbuatan ibadah dan hasil yang diperolehnya karena niat itu jiwa perbuatan, pedoman, dan kemudinya.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, niat itu wajib dalam ibadah. Niat merupakan syarat sah suatu ibadah. Sedangkan, dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan, jika bermaksud untuk mendapatkan keridhaan dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, diharuskan memakai niat. Untuk meninggalkan perbuatan maksiat tidak dituntut adanya niat.
Pentingnya Niat dalam Ibadah
Secara bahasa, niat adalah al-qashd, yang artinya keinginan. Sementara secara istilah syar’i, niat didefinisikan sebagai azam atau tekad untuk mengerjakan suatu ibadah dengan ikhlas karena Allah, yang letaknya berada di dalam batin atau hati.
Para ulama menegaskan bahwa niat adalah pondasi dari setiap amal. Imam An-Nawawi berkata, “Niat adalah kunci diterimanya amal ibadah. Jika niatnya benar, maka amalnya diterima. Jika niatnya salah, maka amalnya tertolak.”
Allah ﷻ juga berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama dengan lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Ayat ini menegaskan bahwa keikhlasan adalah inti dari ibadah. Ketika kita berpuasa dengan niat yang tulus, kita tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga keberkahan dan ketenangan hati.
Disamping itu, niat memiliki dua fungsi utama, pertama yaitu untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Lalu, yang kedua yaitu untuk membedakan tujuan seseorang dalam beribadah. Apakah seseorang itu beribadah karena mengharap rida Allah ataukah ia beribadah karena selain Allah, seperti mengharapkan pujian manusia.
Menjaga Keikhlasan dalam Puasa
Setiap kali Ramadhan tiba, marilah kita periksa kembali niat kita. Apakah kita berpuasa hanya karena kebiasaan? Karena ingin terlihat baik di hadapan orang lain? Atau benar-benar karena Allah?
Agar puasa kita bernilai ibadah di sisi-Nya, pastikan niat kita murni:
1. Niatkan hanya karena Allah – Bukan karena tren, bukan karena ingin dipuji.
2. Berdoa agar diberikan keteguhan hati – Keikhlasan harus terus dijaga agar tidak luntur.
3. Menghindari riya’ – Jangan sampai ibadah kita ternoda dengan keinginan mendapat pujian dari manusia.
Memulai puasa Ramadhan dengan niat yang ikhlas adalah kunci agar ibadah kita diterima di sisi Allah. Jangan biarkan niat yang salah mengurangi pahala kita. Mari kita luruskan niat, jalani Ramadhan dengan penuh keikhlasan, dan raih keberkahan yang dijanjikan-Nya.
Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Aamiin.***
Penulis Rubrik “Peutuah Penghulu” ini adalah Kepala KUA Susoh dan Ketua PC APRI Aceh Barat Daya, yang juga merupakan peraih nominasi Kepustakaan Islam Award 2024 sebagai Penulis Terbaik di lingkungan ASN Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp