MTQ Aceh Usai, Cermin Diri Menanti: Sudahkah Kita Membumikan Al-Qur’an Dalam Kehidupan?

MTQ Aceh Usai, Cermin Diri Menanti: Sudahkah Kita Membumikan Al-Qur’an Dalam Kehidupan?

Laporan: Redaksi | Editor: Tim Redaksi
Penulis adalah Tanzilul Authar M.Pd, Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam, STIT Muhmmadiyah Aceh Barat Daya. (Foto: Dokpri)

| Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-37 baru saja usai. Panggung gemerlap, sorak-sorai, tepuk tangan, dan pujian mengalir untuk qari dan qariah yang lantang melantunkan ayat-ayat Allah. Kita terpukau. Kita tersihir oleh nada-nada merdu yang seolah bisa menembus langit. Tapi, apakah kita berani menoleh ke cermin hati sendiri? Atau kita terlalu sibuk mengagumi gema suara orang lain, hingga suara hati kita sendiri tenggelam dalam debu kesibukan?

Mari kita jujur. Kita sering lebih kagum pada getar nada daripada getar iman. Kita mengagumi vibrato panjang, tajwid sempurna, dan tempo yang pas, tapi masih menunda shalat lima waktu. Bibir fasih membaca “Aqimis shalah” (dirikanlah shalat), tapi kaki enggan melangkah ke masjid. Suara yang merdu itu mungkin menyentuh telinga orang, tapi hatinya tetap kering. Seperti menyalakan lampu indah di rumah yang kosong — terang, tapi tak berisi.

MTQ tidak salah. Sama sekali tidak. Ia adalah panggung syiar, sarana syukur, dan wahana menumbuhkan cinta pada Al-Qur’an. Yang salah adalah ketika kita menjadikannya ajang unjuk suara, bukan ajang pengukuhan ketaatan. Ketika kita sibuk mengukur siapa yang paling merdu, tapi mengabaikan siapa yang paling taat. Kita tersihir oleh gemerlap panggung, tapi lupa bahwa Allah menilai apa yang tersimpan dalam hati dan diamalkan melalui anggota tubuh.

Kita perlu jujur pada diri sendiri: seringkali kita lebih bangga tepuk tangan daripada disiplin shalat, lebih terpesona nada tinggi daripada kesungguhan amal. Kita menghadiri MTQ dengan semangat, tapi apakah kita menghadiri panggilan Allah dengan kesungguhan yang sama? Bacaan indah tanpa amal adalah gema kosong; melodi tanpa makna yang hanya mengisi telinga, bukan jiwa.

Kini, MTQ ke-38 menanti. Ini kesempatan kita untuk introspeksi. MTQ bukan sekadar lomba baca, tapi sarana syukur, wadah menumbuhkan taat dan takwa. Suara yang merdu akan lebih bermakna jika diikuti amal nyata. Bacaan Al-Qur’an akan menyejukkan langit jika hati dan anggota tubuh ikut bersujud. Semoga Aceh tidak hanya dikenal karena tilawah yang memukau, tapi juga karena masyarakatnya mampu membumikan Al-Qur’an, hidup sesuai nilai-nilainya, dan meneguhkan ketaatan dalam setiap langkah.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup