“Meskipun mempunyai kepakaran dalam ilmu perhitungan bulan dan matahari, ulama NU dalam wadah Lembaga Falakiyah tidak pernah menganggap hasil hisab dan rukyatnya sebagai sebuah keputusan, melainkan kabar (ikhbar),” kata Prof Mukri.
JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) selalu memberikan ikhbar (pemberitahuan) mengenai awal bulan spesial seperti Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, berdasarkan Hisab dan Rukyatul Hilal. Ikhbar ini dibuat setelah melakukan pengamatan terhadap hilal di berbagai lokasi di Indonesia.
Ketua PBNU, Prof KH Mohammad Mukri, menjelaskan bahwa hasil pengamatan ini hanya dapat disampaikan dalam bentuk ikhbar, karena keputusan mengenai hal tersebut ada di tangan pemerintah yang sah.
Meskipun ulama NU memiliki kepakaran dalam ilmu perhitungan bulan dan matahari, mereka tidak pernah menganggap hasil hisab dan rukyat sebagai keputusan, melainkan hanya sebagai kabar.
“Meskipun mempunyai kepakaran dalam ilmu perhitungan bulan dan matahari, ulama NU dalam wadah Lembaga Falakiyah tidak pernah menganggap hasil hisab dan rukyatnya sebagai sebuah keputusan, melainkan kabar (ikhbar),” kata Prof Mukri, Selasa (19/4/2023).
Wilayah Indonesia yang sangat luas dan memiliki ribuan pulau, memerlukan keputusan yang disetujui oleh pemerintah terkait awal bulan ini. Oleh karena itu, pemerintah telah menyebar ratusan titik pengamatan hilal di berbagai penjuru Indonesia untuk melakukan rukyatul hilal. Apabila ada satu saja yang melihat hilal dan bisa disumpah, maka keputusan tersebut akan menjadi keputusan seluruh Indonesia.
Prof Mukri menegaskan bahwa rukyat tidak hanya menggunakan pandangan mata, tetapi juga menggunakan alat-alat canggih yang menghasilkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Rukyatnya juga tidak menggunakan pandangan mata saja. Namun pakai alat-alat yang canggih hasil perkembangan ilmu dan teknologi saat ini. Tentunya akan lebih bisa dipertanggungjawabkan hasilnya,” ungkapnya.
Selain itu, katanya, pemerintah juga melakukan sidang isbat yang melibatkan pakar-pakar falakiyah dan astronomi serta perwakilan dari berbagai ormas Islam.
Namun, para ulama NU hanya membantu melakukan ikhbar, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat setelah diumumkan oleh pemerintah. Hal ini sebagai bentuk konsekuensi bagi NU dalam bernegara, yakni menyerahkan sebagian kewenangannya pada pemerintah yang sah.
Prof Mukri juga mengisahkan sebuah kejadian ketika pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari menegur ahli falak, KH Maksum Ali, karena mengumumkan sendiri hasil hisab dan rukyat yang dilakukannya sendiri tanpa diserahkan kepada pemerintah yang berwenang untuk mengumumkan.
Hal ini kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas, Bogor tahun 1954, bahwa hak isbat diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyul amri.
Menurut Prof Mukri, ini merupakan contoh nyata bagaimana para ulama NU mempraktikkan ajaran dan hukum agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. (Lampung.nu)
Editor : Salman