Jakarta, Acehglobal — Otonomi Khusus (Otsus) tampaknya belum cukup mengubah wajah pembangunan Aceh secara signifikan.
Provinsi Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekkah ini justru masih berkutat dengan statusnya sebagai daerah termiskin di Sumatera, kendati mendapat aliran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) setiap tahunnya.
Djohermansyah Djohan, pakar otonomi daerah sekaligus mantan Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), menilai bahwa dana Otsus belum berhasil mendorong Aceh untuk mengejar ketertinggalannya.
“Dia (Aceh) mirip Papua. Dapat tambahan dana otonomi khusus (Otsus), kalau orang Aceh bilangnya Doka (Dana Otonomi Khusus Aceh),” ungkap Djohermansyah saat dihubungi wartawan, Sabtu (16/11/2024).
Menurutnya, ada dua persoalan utama yang harus segera dibenahi di Aceh yakni kepemimpinan dan tata kelola. Ia menekankan pentingnya pemimpin yang mampu membangun sinergi antara Aceh dengan pemerintah pusat.
“Pemimpinnya kurang canggih dan kurang cakap mengurus Aceh. Pilkada harus bisa memilih pemimpin yang bisa membuat Aceh maju,” tegasnya.
Situasi hubungan Aceh dengan pusat yang kini lebih kondusif dinilai sebagai peluang besar untuk pembangunan, tanpa konflik yang meretakkan ikatan dengan pemerintah pusat.
Oleh karena itu, Djohermansyah mendorong agar calon pemimpin Aceh ke depan memiliki sikap kooperatif dan kemampuan lobi yang kuat, termasuk dalam memperjuangkan kembali peningkatan jatah dana Otsus.
“Lobi-lobi ke pusat harus ditingkatkan. Misalnya, Aceh bisa meniru Papua yang jatah dana Otsus-nya naik dari 2 menjadi 2,25 persen, sementara Aceh justru turun dari 2 persen menjadi 1 persen,” ujar Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.
Menurut Djohermansyah, sosok pemimpin Aceh yang dibutuhkan bukan hanya pandai melobi, tetapi juga kreatif dalam mengemas program-program pembangunan yang dapat bersinergi dengan pusat.
Salah satu upaya konkret yang disarankan adalah menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah selatan Aceh, sehingga pembangunan tidak lagi terkonsentrasi di bagian barat yang dekat dengan ibu kota.
“Selama ini ada kesenjangan antar-wilayah dalam pembangunan ekonomi. Pusat pembangunan di Aceh harus digeser ke selatan. Artinya, harus dibangun pusat pertumbuhan ekonomi baru di sana,” jelas Djohermansyah.
Lebih lanjut, ia menilai pemimpin Aceh perlu merangkul diaspora Aceh di perantauan, terutama mereka yang memiliki jaringan kuat di tingkat nasional. Pemimpin Aceh, katanya, belum cukup memanfaatkan potensi besar dari para diaspora Aceh.
“Pemimpin di Aceh kurang memanfaatkan orang Aceh di rantau. Itu harus dilirik, dirangkul, dan disapa sama pemimpin baru. Enggak bisa dengan kekuatan di kampung saja. Jaringan pusat harus dikuatkan. Misalnya, Abdul Latief yang punya Pasar Raya,” ujarnya.
Selain aspek kepemimpinan, pembenahan tata kelola pemerintahan juga menjadi tantangan besar bagi Aceh. Tata kelola pemerintahan di Aceh, lanjutnya, masih jauh dari prinsip-prinsip good governance.
Djohermansyah mengingatkan agar dana yang ada dikelola secara transparan dan diarahkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperkaya pejabat dan kepala daerah.
“Uang dikelola harus transparan, proyek harus untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kesejahteraan pejabat dan kepala daerah. Karena itu uang rakyat Aceh, dalam rangka membuat Aceh mengejar ketertinggalannya,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya memprioritaskan kelompok-kelompok strategis di Aceh, seperti para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ia menyarankan agar mereka dilatih untuk terjun ke dunia bisnis dan diberikan akses modal agar mampu mandiri secara ekonomi.
“Jangan biarkan mereka tumbuh kayak di-karbit. Dana otsus harus menyasar kelompok sosial tertentu, untuk bisa meningkatkan kapasitas dan kewirausahaan,” pesannya.
Melalui kepemimpinan yang sinergis dan tata kelola yang lebih baik, Djohermansyah optimis bahwa Aceh bisa lebih maju dan sejahtera, meninggalkan status sebagai daerah tertinggal di Sumatera.
Seperti diketahui, saat ini di Pilkada Aceh, ada dua pasangan calon yang sedang berkontestasi, yakni Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi, melawan Muzakir Manaf dan Fadhlullah.
Bustami Hamzah merupakan birokrat tulen yang memiliki pengalaman pengelolaan birokrasi, sementara Muzakir Manaf merupakan mantan Wakil Gubernur Aceh pada tahun 2012 silam, dan pernah bertarung di posisi Gubernur Aceh pada 2017 namun harus mengakui kemenangan Irwandi Yusuf.(*)
Tinggalkan Balasan