Takengon, Acehglobal — Indonesia merupakan produsen kopi terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Namun, ironisnya, petani kopi Indonesia justru tergolong miskin. Hal ini disebabkan oleh produktivitas kopi Indonesia yang rendah.
“Komoditi kopi Indonesia dalam perdagangan internasional menjadi sumber penghasil devisa bagi negara, namun sangat disayangkan petani sebagai pejuang devisa secara ekonomi tergolong rendah,” kata salah seorang pengusaha kopi di Aceh, Dedi Ikhwani, kepada Acehglobal, Minggu (21/1/2024).
Menurut Dedi, berdasarkan data dari International Coffee Organization (ICO) yang diolah oleh Litbang Kompas, luas lahan kopi Indonesia mencapai 1,25 juta hektar. Namun, sayangnya secara produktivitas Indonesia masih terpuruk pada pada posisi 5 dengan hasil green bean hanya 516 kg per hektar.
“Angka ini jauh lebih rendah dari negara Vietnam yang memiliki produktivitas kopi sebesar 2.778 kg per hektar,” jelasnya.
Akibat produktivitas yang rendah tersebut, Owner Deputroe Coffee di Aceh itu mengatakan secara langsung berdampak terhadap pendapatan petani kopi di Indonesia juga ikut rendah.
“Bila kita asumsikan saja untuk kopi robusta dengan harga green bean 50.000 per kg. Petani Indonesia hanya memperoleh pendapatan per tahun senilai 25,8 juta per hektar” ujarnya.
Sementara Vietnam, kata dia, memperoleh pendapatan pertahun 138,9jt/ha. Angka tersebut tentunya memberikan selisih yang sangat jauh terkait kesejahteraan petani kopi, imbuh dia.
Kata Dedi, perbedaan pendapatan yang signifikan ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami istilah Darurat Kopi.
Untuk mengatasi darurat kopi, menurutnya, Pemerintah perlu melakukan berbagai upaya, antara lain meningkatkan produktivitas tanaman kopi melalui penerapan teknologi pertanian modern, memberikan bantuan modal dan sarana produksi kepada petani kopi, meningkatkan pembangunan infrastruktur di wilayah perkebunan kopi.
Salah satu instrumen peningkatan produktifitas kopi sudah dituang dalam Peraturan Menteri Pertanian Indonesia tentang pedoman teknis budidaya kopi yang baik (GAP: good agriculture practices coffee). Namun, dalam penerapannya bagai pungguk merindukan bulan.
Lebih lanjut kata Dedi, darurat kopi ini merupakan tantangan besar bagi Indonesia. Jika tidak segera diatasi, maka Indonesia akan kehilangan potensi devisa yang besar dari sektor kopi.
“Semoga 2024 akan ada perubahan bagi Indonesia ulagar lebih serius lagi dalam penguatan sektor ekonomi rakyat, khususnya petani kopi” harapnya.(*)
Editor: Salman