Banda Aceh, Acehglobal – Tudingan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto, yang menyebut wartawan bodrex dan LSM sebagai pengganggu kinerja kepala desa, menuai reaksi keras dari organisasi pers dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Nasir Nurdin, menilai tuduhan tersebut sangat menyakitkan dan merugikan profesi wartawan.

“Meskipun istilah wartawan bodrex merujuk pada wartawan abal-abal, tetapi tuduhan itu sangat menyakitkan. Ini menunjukkan upaya Mendes untuk membungkam pers yang kritis terhadap kinerja kepala desa, atau bahkan mencoba mencari kambing hitam atas berbagai kegagalan di tingkat desa,” ungkap Nasir Nurdin, Senin (3/2/2025).

Tuduhan tersebut pertama kali disampaikan oleh Yandri Susanto dalam sebuah forum diskusi bersama Komjen Pol Fadil Imran, Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri, yang disiarkan langsung di kanal YouTube Kementerian Desa dan PDT.

Ketua PWI Aceh menilai bahwa ucapan Mendes sebagai bentuk intimidasi terhadap kebebasan pers dan upaya membungkam kritik yang sah terhadap pemerintah.

Menurut Nasir, masuknya wartawan atau LSM untuk mengkritisi pengelolaan dana desa bukan tanpa alasan. Ia menyebutkan bahwa memang ada aroma persoalan di sana.

“Itu artinya memang ada persoalan dana desa, jadi jangan menuding wartawan atau LSM mengganggu kinerja kepala desa,” tegasnya.

“Tentu saja, kita tidak bisa menutup mata bahwa ada oknum wartawan atau LSM yang memanfaatkan masalah dana desa untuk kepentingan pribadi. Oknum kepala desa pun terkadang menutup-nutupi masalah tersebut dengan memberikan uang kepada wartawan bodrex,” tambahnya.

Nasir menyebut bahwa tuduhan terhadap wartawan dan LSM yang dianggap mengganggu kinerja kepala desa seharusnya tidak dijadikan alasan untuk menutup-nutupi masalah yang ada.

Ia menegaskan bahwa pers dan LSM berperan penting untuk terus memantau pengelolaan dana desa secara transparan. Tudingan bahwa wartawan mengganggu kinerja kepala desa harus dilawan dengan kerja profesional.

“Soal ada yang melakukan sogok menyogok, tentu ada hukum yang akan memproses. Laporkan itu sebagai tindak kejahatan, tak terkecuali yang melibatkan wartawan maupun LSM,” kata Nasir Nurdin.

Lebih lanjut, Nasir juga mengungkapkan adanya program-program yang menggunakan dana desa yang tetap berjalan meskipun mendapat penentangan dari masyarakat dan pers. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan bimbingan teknis (bimtek) pengelola dana desa ke luar provinsi.

“Berjalan lancar karena ada rekomendasi dan dukungan dari lembaga-lembaga resmi. Masing-masing lembaga sudah dapat jatah untuk memastikan tak ada temuan setelah kegiatan dilaksanakan. Apakah Mendes mencium praktik-praktik seperti ini?,” tanyanya.

Reaksi keras atas pernyataan Yandri Susanto juga datang dari LSM Adji Saka Indonesia, Gunawan Wibisono. Ia menegaskan pernyataan tersebut merupakan ancaman terhadap kebebasan pers.

Publik patut mempertanyakan apa yang sebenarnya ditakuti oleh Yandri dari pemberitaan media. “Pernyataan Yandri adalah tamparan keras bagi demokrasi. Ini adalah contoh buruk pejabat yang alergi kritik,” kata Wibisono.

LSM dan pers pun mendesak agar Yandri Susanto meminta maaf secara terbuka atas pernyataannya. Jika tidak, akan semakin jelas bahwa Yandri ingin membungkam suara kritis yang mengungkap kebobrokan di tubuh kementeriannya.

Hingga kini, Yandri memilih bungkam. Apakah ini tanda ketidaksiapan atau memang sengaja menutup diri dari kritik? Publik berhak tahu kebenarannya. (*)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp