Jantho, Acehglobal — Ramadhan belum lama berlalu, namun kita sudah merasakan dan menyaksikan kondisi kita sudah kembali ke waktu sebelum Ramadhan hadir.
Hari-hari yang selama Ramadhan terdengar lantunan Al Qur’an menggema di berbagai tempat dan kalangan, kini kembali sepi. Masjid-masjid yang ramai, hanya diisi oleh segelintir jama’ah. Nuansa ibadah berganti menjadi seremoni ramah-tamah.
Pengurus Wilayah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Aceh, Ustaz H. Mubashshirullah, Lc, M.Ag akan menyampaikan hal tersebut dalam khutbah Jum’at di Masjid Nurul Jadid, Gampong Lampeuneuen, Kecamatan Darul Imarah, 19 April 2024 bertepatan dengan 10 Syawal 1445 H.
Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh ini menjelaskan, fenomena ini akan terus kita saksikan dan kita rasakan. Pengaruh dan efek ibadah yang sudah kita laksanakan dapat berubah kembali seperti sedia kala.
Seakan kita hanya beribadah di bulan Ramadhan saja. Kita hadir ke masjid saat Ramadhan saja. Kita tilawah Al Qur’an hanya pada bulan Ramadhan. Kita bersedekah juga karena Ramadhan. Inilah yang terus diperingatkan oleh para salafussaleh, agar kita senantiasa berusaha istiqamah dalam ketaatan.
Salah seorang dari mereka menyampaikan, “Kun Rabbaniyyan, wala takun Ramadhaniyyan,” maksudnya jadilah kalian hamba-hamba Allah yang Rabbani, bukan menjadi hamba-hamba bulan Ramadhan.
Maksudnya, jika ingin taat menghamba kepada Allah, jangan hanya di bulan Ramadhan saja, tetapi terus istiqamah menjaga ketaatan tersebut di sepanjang bulan selanjutnya hingga ajal menjemput.
Yang lainnya menyebutkan, “Barangsiapa yang menyembah Allah hanya pada bulan Ramadhan, maka sungguh Ramadhan telah pergi dan berlalu. Barangsiapa yang menyembah Allah, maka sungguh Allah adalah dzat yang hidup dan akan terus ada.”
Seorang sahabat datang menjumpai Nabi saw dan bertanya kepada beliau, “Dari Abu ‘Amr, ada yang menyebut pula Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku berkata : Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu perkataan dalam Islam yang aku tidak perlu bertanya tentangnya kepada seorang pun selainmu.” Beliau bersabda, “Katakanlah : aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.”
(HR. Muslim)
“Istiqamah adalah obat agar kita terus bisa konsisten dalam ketaatan. Istiqamah berasal dari kata istiqaama-yastaqiimu, yang berarti tegak lurus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen,” ungkapnya.
Ustaz Mubashshirullah menjelaskan, dalam terminologi akhlak, istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman, sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan.
Seseorang yang istiqamah laksana batu karang di tengah-tengah lautan yang tidak bergeser sedikit pun walau dipukul oleh gelombang yang bergulung-gulung.
Para sahabat Rasulullah saw juga sering menyebutkan makna dan pengertian istiqamah. Ali bin Abi Thalib mengartikan istiqamah dengan melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah.
Sedangkan Umar bin Khattab mendefinisikannya sebagai suatu hal yang bertahan pada satu perintah dan tidak melakukan suatu apapun yang dilarang.
Sahabat Usman bin Affan menyebutkan bahwa istiqamah berkaitan dengan keikhlasan. Adapun Abu Bakar Ash Shiddiq memaknainya dengan perbuatan yang tidak menyekutukan Allah SWT atau tidak melakukan perbuatan syirik.
Ustaz Mubashshirullah menambahkan, beberapa amalan yang dapat membantu kita istiqamah dalam kebaikan, luruskan niat dan tujuan kita beribadah; memaknai kembali makna syahadat; senantiasa membaca Al Qur’an; berkumpul dengan orang-orang shaleh; serta berdoa dan memohon keteguhan hati kepada Allah Swt.
“Semua berpulang kembali kepada diri kita masing-masing. Apakah kita mau berupaya untuk konsisten pada ketaatan ataupun tidak. Semua akan kita tuai hasilnya. Maka berusahalah menggapai istiqamah, karena ia lebih baik daripada 1000 karamah,” pungkasnya.(*)