ACEHGLOBALNEWS.com — Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bersama Pemerintah Aceh baru saja menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk membahas revisi Rancangan Qanun (Raqan) tentang Perubahan Kedua atas Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal.
Rapat yang berlangsung di Ruang Serbaguna DPRA, di Banda Aceh itu digelar pada Selasa (14/10/2025). Rapat ini turut dihadiri oleh berbagai unsur Baitul Mal, baik dari Baitul Mal Aceh (BMA) maupun Kabupaten/Kota se Aceh. Selain itu, Komisi VII DPRA juga melayangkan undangan untuk Bupati dan Ketua DPRK se Provinsi Aceh guna menghadiri RDPU tersebut.
Agenda yang digelar ini bukan sekadar rutinitas legislasi, melainkan upaya menyempurnakan tata kelola lembaga pengelola zakat, infak, dan wakaf di Aceh agar lebih efektif, profesional, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat hari ini.
Revisi ini melanjutkan perubahan pertama melalui Qanun Nomor 3 Tahun 2021. Artinya, sudah tiga kali Baitul Mal Aceh mengalami pembaruan aturan dalam tujuh tahun terakhir. Frekuensi revisi yang tinggi bisa dibaca dari dua sisi: pertama, sebagai bukti komitmen memperbaiki kelembagaan; atau kedua, sebagai cermin belum tuntasnya problem mendasar dalam sistem pengelolaan zakat di Aceh.
Dalam rancangan qanun yang baru, posisi Baitul Mal ditegaskan sebagai lembaga independen dengan fleksibilitas dalam mengelola keuangan umat. Struktur kelembagaan diperjelas—dari Dewan Pengawas Syariah (DPS), Badan Baitul Mal, hingga Baitul Mal di tingkat gampong. Penguatan peran pengawasan juga menjadi sorotan. DPS dan Dewan Pengawas diberi ruang lebih besar untuk memastikan pengelolaan zakat berjalan sesuai prinsip syariah dan transparansi publik.
Langkah ini tentu patut diapresiasi. Namun, penguatan kelembagaan tanpa perubahan paradigma birokrasi hanya akan melahirkan lembaga yang kuat di atas kertas. Apalagi, salah satu masalah klasik Baitul Mal selama ini justru berada di tataran implementasi—mulai dari lambannya penyaluran dana, tumpang tindih kewenangan, hingga lemahnya koordinasi antarlevel pemerintahan.
Persoalan di Akar: Regulasi yang Tumpang Tindih
Salah satu biang kerok ketidakefisienan Baitul Mal terletak pada regulasi yang saling bertabrakan. Misalnya, antara Qanun Aceh tentang Baitul Mal dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Permendagri ini secara tidak langsung menyeret dana zakat dan infak ke dalam sistem keuangan pemerintah daerah, karena dana tersebut telah menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tertuang dalam APBA dan APBK.
Konsekuensinya fatal. Dana zakat yang seharusnya cepat tersalurkan kepada delapan golongan penerima (asnaf) justru menumpuk di kas daerah dan menjadi sisa lebih perhitungan anggaran (silpa). Dalam banyak kasus, penyaluran tertunda bukan karena niat, melainkan karena kekakuan sistem keuangan yang dibangun dengan logika administrasi pemerintahan, bukan logika syariah.
Bahkan, karena sistem keuangan zakat dan infak masih dominan merujuk pada regulasi keuangan pemerintah pusat maupun daerah—seperti Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 dan aturan turunannya seperti Peraturan Bupati atau Peraturan Wali Kota—seorang pejabat di struktur Sekretariat Baitul Mal di daerah pernah menyebut, mereka tetap harus mengikuti sistem keuangan Permendagri tersebut dalam menyalurkan zakat dan infak kepada mustahik. Alasannya sederhana: ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit, acuan yang dipakai bukanlah Qanun Aceh, melainkan regulasi nasional dan daerah seperti Permendagri serta Perbup/Perwal tentang sistem pelaksanaan keuangan daerah. Kondisi ini memperjelas betapa lemah posisi qanun dalam praktik tata kelola zakat, meski Aceh memiliki status otonomi khusus.
Zakat adalah dana umat. Ia bukan bagian dari dana publik yang tunduk sepenuhnya pada mekanisme birokrasi pemerintah. Ketika logika birokrasi menguasai ruang amil, ruh zakat sebagai instrumen sosial umat justru hilang. Di sinilah akar persoalan yang semestinya disentuh oleh revisi qanun kali ini.
Wacana BLUD: Mencari Jalan Tengah Pengelolaan Dana Umat
Sebelumnya, sempat mencuat wacana menarik dari berbagai forum rapat koordinasi pimpinan Baitul Mal se-Aceh. Mereka mengusulkan agar sistem pengelolaan keuangan dana zakat dan infak di Baitul Mal diubah dengan pola seperti Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Tujuannya sederhana: agar pengelolaan dana umat menjadi lebih efektif, fleksibel, dan cepat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang membutuhkan.
Sistem BLUD selama ini diterapkan di sejumlah rumah sakit daerah, perguruan tinggi negeri, hingga lembaga layanan publik lain. BLUD memungkinkan unit kerja pemerintah mengelola keuangan secara mandiri tanpa terikat prosedur kaku APBD, selama tetap akuntabel dan transparan. Keunggulannya terletak pada fleksibilitas dalam penggunaan anggaran, kemampuan melakukan pengadaan secara cepat, dan ruang untuk mengembangkan pendapatan non-anggaran.
Jika sistem serupa diterapkan pada Baitul Mal, lembaga ini dapat lebih lincah dalam menyalurkan dana zakat kepada mustahik tanpa harus menunggu siklus panjang pencairan anggaran pemerintah. Baitul Mal juga bisa mengelola investasi syariah dan wakaf produktif dengan lebih dinamis, serta merespons kebutuhan masyarakat yang sifatnya mendesak.
Namun, penting digarisbawahi bahwa meskipun beroperasi dengan pola BLUD, dana zakat dan infak tetap harus tercatat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) khusus, sesuai amanat Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun Aceh. Artinya, sistem BLUD hanya menjadi sarana efisiensi dan fleksibilitas, bukan sarana untuk melepaskan tanggung jawab hukum dan akuntabilitas publik.
Dengan pola seperti ini, Aceh berpeluang menemukan jalan tengah antara birokrasi dan syariah—mengelola dana umat secara cepat dan profesional tanpa menyalahi prinsip pertanggungjawaban keuangan daerah.
Menagih Independensi Lembaga Amil Daerah
Isu independensi Baitul Mal juga tidak bisa diabaikan. Meski secara normatif disebut lembaga independen, dalam praktiknya Baitul Mal sering kali tidak sepenuhnya bebas dari intervensi politik maupun birokrasi. Struktur yang masih melekat pada pemerintahan daerah membuatnya mudah dipengaruhi oleh kepentingan eksekutif atau legislatif.
Padahal, keberadaan Baitul Mal di Aceh adalah bagian dari keistimewaan daerah ini dalam mengelola urusan keagamaan. Semestinya, lembaga ini berada di atas struktur politik, bukan di bawahnya. Tanpa independensi yang nyata, fleksibilitas pengelolaan yang diimpikan akan sulit terwujud.
Lex Specialis untuk Dana Umat
Salah satu harapan besar dari revisi qanun ini adalah agar aturan tersebut benar-benar menjadi lex specialis—hukum khusus yang dapat mengesampingkan hukum umum seperti Permendagri atau PP yang berlaku nasional. Aceh dengan status otonomi khusus seharusnya memiliki ruang untuk mengatur tata kelola dana umat secara mandiri sesuai prinsip syariat Islam.
Jika qanun Baitul Mal dapat diposisikan sebagai lex specialis derogat legi generali, maka pengelolaan zakat tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari keuangan daerah, melainkan keuangan umat. Dengan begitu, penyaluran bisa lebih cepat, efisien, dan tepat sasaran, tanpa harus menunggu putaran panjang prosedur administrasi negara.
Mengembalikan Ruh Syariah dalam Pengelolaan Zakat
Revisi qanun ini juga diharapkan tidak hanya berhenti pada penyesuaian struktur dan regulasi, tetapi menyentuh aspek moral dan spiritual pengelolaan zakat. Baitul Mal bukan sekadar lembaga keuangan, melainkan lembaga amanah yang mengemban misi keumatan. Setiap rupiah yang dikelola adalah titipan umat yang harus dikembalikan kepada mereka yang berhak—bukan dibiarkan mengendap di kas daerah dengan dalih prosedur.
Zakat, infak, dan wakaf seharusnya menjadi instrumen nyata untuk mengurangi kemiskinan, menguatkan ekonomi umat, serta membangun kemandirian masyarakat miskin. Jika revisi qanun ini gagal mengembalikan semangat itu, maka seluruh perubahan hanya akan menjadi perbaikan kosmetik yang tak menyentuh substansi.
Menanti Implementasi, Bukan Sekadar Regulasi
Kini, masyarakat Aceh menanti: apakah revisi Qanun Baitul Mal benar-benar akan menjadikan tata kelola zakat lebih efektif dan fleksibel, atau hanya sekadar menambah daftar panjang perubahan aturan tanpa perubahan nyata di lapangan?
Harapan publik sederhana: zakat harus cepat, tepat, dan berdampak. Lembaga amil mesti bekerja dengan hati, bukan sekadar patuh pada sistem. Pemerintah Aceh dan DPRA punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa perubahan regulasi ini tidak hanya memudahkan pejabat, tapi juga memerdekakan umat dari belenggu kemiskinan.
Jika Baitul Mal berhasil menjadi lembaga yang profesional, independen, dan fleksibel, maka Aceh tidak hanya mempertahankan keistimewaannya, tetapi juga meneguhkan dirinya sebagai pionir pengelolaan zakat berbasis syariah yang modern dan manusiawi. Wallahu a’lam bishawab. (*)
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp
Tinggalkan Balasan