“Nah, yang terjadi adalah pemberlakuan undang-undang nasional, bukan UUPA. Jadi, sebenarnya tidak ada yang dilanggar. UUPA tetap dihargai secara khusus, namun undang-undang nasional juga berlakukan di Aceh,” jelasnya.
Fahrul Razi menekankan, tidak ada undang-undang nasional yang bersifat umum yang melanggar undang-undang khusus. UU Desa Nomor 3 Tahun 2024 tetap menghormati dan menghargai kekhususan daerah, seperti Aceh dan Papua, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B.
“Kalau provinsi kita di Aceh, namun juga berlaku di Papua dan juga berlaku di IKN dan sebagainya. Oleh karena itu, sebenarnya masa jabatan Keuchik yang ada di Aceh itu harus memperhatikan, dan boleh mengikuti UU Nomor 3 Tahun 2024 sebagaimana norma hukum ini bersifat umum, namun diletakkan di undang-undang yang bersifat khusus,” paparnya.
Hal ini, kata Fachrul, serupa dengan ketentuan UUPA yang mengatur Pilkada seharusnya dilaksanakan pada 2022, namun pemerintah pusat menganggap itu sebagai norma umum, sehingga Pilkada dilaksanakan pada 2024.
Menurutnya, tidak semua pasal dalam UUPA bersifat khusus, beberapa pasal memiliki norma-norma umum yang dapat diterapkan secara nasional. Contohnya sebut dia seperti pemilu, pilkada, dan masalah desa, termasuk masa jabatan kepala desa, yang di provinsi lain berlaku 8 tahun, dan di Aceh juga berlaku dengan batasan dua kali pemilihan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2024.
“Jadi yang harus dipahami ini bukan persoalan masa jabatan keuchik dari 6 tahun menjadi 8 tahun, bukan keuchik-keuchik di Aceh itu haus kekuasaan ingin memiliki jabatan yang lebih panjang, ini masalah kesejahteraan dimana UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa yang merupakan perubahan dari UU Nomor 6 tahun 2014 ada 17 pasal perubahan. Jadi, kalau UU Desa ini tidak dilaksanakan menyeluruh di Aceh, maka yang rugi adalah masyarakat di gampong,” tegasnya.