“Itu mohon diluruskan Paduka Yang Mulia, posisi Imuem Mukim itu sebenarnya dimana. Hanya sebagai lembaga adat atau pemerintahan adat,” imbuh Ketua FIM Abdya, Tgk. M. Yasin Yusuf.

Menjawab pertanyaan tersebut diatas, PYM Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al Haytar melalui Stafsus Bidang Diplomasi Dr. Rafiq menjelaskan, jika keberadaan Imuem Mukim adalah sebagai Pemerintahan Adat.

“Kalau merujuk pada regulasi yang ada, Mukim adalah lembaga adat dan juga merupakan Pemerintahan adat,” ucap Dr. Rafiq.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Bab XII dan XIII diatur tentang Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Pasal 98 Undang-undang ini menyebutkan lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota di Bidang Keamanan, Ketentraman, Kerukunan dan Ketertiban Masyarakat.

“Pada ayat berikutnya dalam pasal ini, menyebutkan tentang penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat, ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga Adat seperti yang disebutkan di atas, meliputi Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim atau nama lain, Imeum Chik atau nama lain, Keuchik atau nama lain, Tuha Peut atau nama lain, Tuha Lapan atau nama lain, Imeum Meunasah atau nama lain, Keujruen Blang atau nama lain, Panglima Laot atau nama lain, Pawang Glee atau nama lain, Peutua Seuneubok atau nama lain, Haria Peukan atau nama lain dan Syahbanda atau nama lain,” papar Dr. Rafiq.

Dalam pasal 99 Undang-undang Pemerintahan Aceh ini, disebutkan bahwa pembinaan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai Syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Selanjutnya disebutkan, bahwa penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.