Teo-Antropologi Zakat, Gagasan Prof. Syamsul Rijal untuk Atasi Rendahnya Realisasi Zakat di Aceh

Teo-Antropologi Zakat, Gagasan Prof. Syamsul Rijal untuk Atasi Rendahnya Realisasi Zakat di Aceh

Laporan: Redaksi | Editor: Salman
Prof. Syamsul Rijal dalam kegiatan Sosialisasi Potensi dan Kewajiban Zakat untuk Kalangan Media yang digelar Baitul Mal Aceh bekerja sama dengan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh, di Kopi Nanggroe, Selasa (4/11/2025). Foto: Istimewa

Aceh Global News | BANDA ACEH – Rendahnya realisasi zakat di Aceh dinilai bukan sekadar persoalan teknis. Guru Besar UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Syamsul Rijal, menyebut akar masalahnya justru terletak pada cara pandang keagamaan yang kaku, pola budaya yang paradoksal, serta resistensi kelembagaan di tingkat akar rumput.

Pandangan itu disampaikan Prof. Syamsul dalam kegiatan Sosialisasi Potensi dan Kewajiban Zakat untuk Kalangan Media yang digelar Baitul Mal Aceh bekerja sama dengan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh, di Kopi Nanggroe, Selasa (4/11/2025).

“Kegagalan ini mencerminkan adanya persoalan mendasar dalam memahami hubungan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam praktik zakat,” ujar Prof. Syamsul di hadapan peserta diskusi.

Menurutnya, potensi zakat terbesar di Aceh bukan berasal dari individu, melainkan dari sektor perusahaan dan investor yang kini semakin banyak beroperasi di provinsi tersebut. Namun, potensi itu belum tergarap optimal karena pengelolaan zakat masih terjebak dalam pendekatan fikih formal yang sempit.

“Pendekatan kita masih birokratis dan belum menyentuh aspek kemanusiaan yang menjadi ruh zakat itu sendiri,” tegasnya.

Sebagai solusi, Prof. Syamsul memperkenalkan gagasan “teo-antropologi zakat” sebuah pendekatan yang menggabungkan nilai teologi dan antropologi agar zakat tidak hanya dipahami sebagai kewajiban ritual, tetapi juga sebagai instrumen sosial untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.

Dalam paparannya, Prof. Syamsul menegaskan bahwa banyak umat memahami nilai spiritual dalam ibadah, tetapi gagal menerapkannya dalam konteks kemanusiaan. Hal yang sama, kata dia, terjadi dalam praktik zakat yang kerap terjebak pada formalitas hukum.

“Perdebatan soal siapa yang layak menerima zakat, termasuk apakah ODGJ berhak menjadi mustahik, seharusnya tidak perlu diperpanjang. Itu persoalan manusia. Harta itu titipan Allah, dan harus kita keluarkan untuk kemanusiaan,” ujarnya.

Zakat, menurutnya, bukan hanya membersihkan harta, tetapi juga membersihkan jiwa, sebagaimana perintah “khudz min” dalam Al-Qur’an yang bermakna aktif, zakat harus dijemput oleh lembaga, bukan menunggu diberikan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp

Tutup