Prof. Syamsul juga menyoroti perilaku sebagian masyarakat yang berusaha “mengakali” hukum fikih agar terhindar dari kewajiban zakat, misalnya menjual sapi sebelum mencapai masa haul dan nisab.
“Ini bukan masalah hukum, tapi mindset. Kalau kita sadar sebagai manusia yang dititipi harta, mestinya tetap ada dorongan memberi,” katanya.
Ia juga menilai kebiasaan masyarakat yang membayar zakat hanya di bulan Ramadan menunjukkan lemahnya kesadaran spiritual. Begitu pula dengan kecenderungan pekerja kota yang menyalurkan zakat ke kampung halaman, padahal mereka hidup dan mencari nafkah di daerah lain.
“Kesadaran lokal seperti ini perlu diubah agar manfaat zakat bisa dirasakan di tempat muzakki tinggal dan bekerja,” ujarnya.
Prof. Syamsul menyoroti adanya penolakan terhadap Baitul Mal Gampong dari sebagian Teungku Imum yang merasa berhak menerima zakat fitrah sebagaimana tradisi lama. Padahal, menurutnya, tidak semua imam layak menjadi mustahik secara syariat.
Budaya memberi masyarakat Aceh, lanjutnya, cenderung bersifat seremonial, bukan pemberdayaan. “Kita ini seperti Robin Hood, suka berbagi tapi tidak menumbuhkan orang sejahtera baru,” ujar moderator diskusi menimpali.
Prof. Syamsul juga mengajak masyarakat untuk memperluas makna zakat, dari sekadar ibadah finansial menjadi aksi kemanusiaan.
“Zakat 2,5 persen itu ilahiyah. Kalau berani 3 persen, itu artinya setengah persen adalah nilai insaniyah kita,” ujarnya menutup diskusi.
Sebagai rekomendasi, ia mendorong agar Rencana Bisnis dan Anggaran Baitul Mal difungsikan sebagai investasi sosial yang bersinergi dengan berbagai lembaga, termasuk media. Jurnalis, katanya, perlu mengambil peran tabligh untuk meliterasi masyarakat bahwa zakat adalah alat keadilan sosial.
“Tujuannya agar mustahik bisa menjadi muzakki. Itulah makna pemberdayaan yang sebenarnya,” pungkasnya. (*)
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp
