Laporan: Redaksi | Editor : Salman

BLANGPIDIE – Metode pertanian ramah lingkungan yang menggunakan Mulsa Tanpa Olah Tanah (MTOT) semakin mendapat dukungan di Indonesia. Salah satunya terlihat dari penerapan metode tersebut oleh kelompok petani di Gampong Lhang, Kecamatan Suak Setia, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya).

Metode penggunaan mulsa dari sisa tanaman sebagai media tanam memiliki banyak manfaat.

Menurut Mahmudsyah (55), salah seorang petani yang menggunakan metode ini, penggunaan mulsa dapat mengolah lahan persawahan secara efektif. Selain itu, penggunaan mulsa juga dapat mengurangi penggunaan pestisida dan zat kimia pada pupuk, menjadikannya sebagai metode yang ramah lingkungan.

“Pemanfaatan sisa tanaman atau mulsa ini disebar di lahan hingga membusuk, setelah itu kami dapat langsung menanam bibit tanaman tanpa perlu mengolah tanah lagi. Kami menggunakan jerami sebagai media di lahan sawah yang kami kelola,” jelas Mahmudsyah, Senin (22/5/2023).

Mahmudsyah menjelaskan bahwa metode tani mulsa TOT ini juga memberikan manfaat ekonomi bagi para petani. Biaya yang dikeluarkan untuk bertani hampir tidak ada dibandingkan dengan metode konvensional.

Selain itu, metode ini juga menguntungkan dari segi kesehatan dengan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Hasil pertanian yang dihasilkan juga berkualitas lebih baik, bebas dari bahan kimia sehingga lebih organik dan aman untuk dikonsumsi.

Namun, menurut Mahmudsyah, yang paling penting adalah dengan menggunakan metode bertani mulsa TOT, pembukaan lahan dapat terhindar dari praktik-praktik ilegal, seperti pembakaran lahan yang dapat menyebabkan kebakaran hutan dan dampak hukum bagi petani.

“Dengan metode Mulsa TOT ini, petani tidak hanya menciptakan udara bersih dan mencegah kebakaran hutan, tetapi juga meningkatkan hasil pertanian dan menjaga kelembaban tanah,” terang Mahmudsyah.

Sementara itu, Marzuki, Fasilitator Program Udara Bersih Indonesia wilayah Aceh, menjelaskan bahwa MTOT merupakan program yang dikembangkan oleh Yayasan FIELD (Farmer Initiatives Ecological Livelihoods and Democracy) sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat melalui pendidikan dan pemberdayaan.

Yayasan FIELD, didirikan pada bulan Juli 2001 di Jakarta Selatan, bergerak dalam berbagai bidang termasuk pertanian, lingkungan hidup, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial.

Program Udara Bersih Indonesia, sebut Marzuki, telah dikembangkan di 8 Propinsi (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Barat dan Lampung), 24 Kabupaten, dan 300 gampong.

Saat ini, katanya, Yayasan FIELD Indonesia melalui program Udara Bersih Indonesia telah melatih 863 petani sebagai kader Udara Bersih Indonesia, telah melakukan 615 ujicoba teknis Mulsa Tanpa Olah Tanah, Hugelkultur, Membuat kompos dengan Ayam serasah Dalam, dan pembuatan Pupuk Daun dengan Cangkang Telor; serta melaksanakan 264 Sekolah Lapangan Pertanian Udara Bersih di 8 provinsi.

“Di Aceh sendiri, progam udara bersih Indonesia telah di lakukan di 3 kabupaten, yaitu Aceh Barat, Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan,” ungkapnya.

Marzuki melanjutkan Mahmudsyah telah melakukan beberapa kali praktik metode program UBI, salah satunya yaitu praktik pengelolaan lahan tanpa bakar dengan metode Mulsa tanpa olah tanah (MTOT) jenis tanaman padi pada lahan seluas 650 m2 dengan membuat lahan perbandingan berdampingan dengan metode konvensional.

“Dari uji coba berdampingan MTOT vs Konvensional ini pak Mahmud membuktikan bahwa hasil panen dilahan MTOT lebih unggul dibandingkan lahan konvensional,” pungkasnya.(*)