Bila rembulan tiba, di mana penghuni lain tengah lelap dalam tidurnya, Nurmala beserta keluarganya harus getir menahan dinginnya angin malam yang menusuk hingga ke nadi. Hempasan angin beragresi bebas melewati rongga-rongga dinding papan yang hanya ditutup tempelan kertas koran usang.

Invasi ini belum lagi diperparah dengan dadakan serangan badai. Lempengan papan yang menempel di dinding dan lembaran seng yang telah menghitam pekat kerap lepas tersapu gelombang

Selain gangguan dari alam, Nurmala beserta keluarganya juga acap kali harus getir menahan sesaknya buang air besar (BAB) di tengah malam. Pasalnya, istana yang dibangun sang suami pada 4 dekade silam ini tidak menyediakan ruang khusus MCK (Mandi, Cuci dan Kakus).

Meski usianya tidak lagi muda, Nurmala pantang menyerah menjalani hidup. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi harian, Nurmala menggantungkan hidup pada hasil ladang miliknya yang berada di atas perbukitan. Hasil kebun seperti pisang, pepaya, cabai, pala, kopi, pinang dan jengkol yang ia petik langsung dijual untuk dibarter menjadi beras dan sembako. Uang sisa yang didapat dari penjualan itu ia simpan sebagai modal biaya rehab rumah, sebagaimana mimpi yang ia lukis bersama sang mendiang.

Setiap pagi usai salat Subuh, Nurmala hempaskan kaki pergi ke gunung untuk memetik hasil kebun buah tangan almarhum suaminya. Untuk sampai di lokasi, Nurmala dan penduduk Alue Manggota lainnya harus berjalan kaki selama 3 hingga 4 jam lebih melewati jalan setapak yang curam dan licin. Tidak sedikit warga terpeleset jatuh dan bahkan mencampakkan hasil panennya di pelerengan, lantaran geram tidak ada akses jalan yang memadai.