Sebelumnya, YARA telah mengajukan somasi kepada Gubernur untuk menandatangani Term & Condition yang disusun oleh SKK Migas, Pertamina dan BPMA, namun tidak ditanggapi.
Setelah itu, lanjut Safaruddin, diajukan keberatan dan sampai banding administratif ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tidak juga ditandatangani persetujuan tersebut sampai akhirnya diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh karena dianggap perbuatan/tindakan Gubernur yang menolak menandatangi persetujuan Term & Condition tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum yang berakibat Aceh kehilangan informasi tentang pendapatan hasil migas di kedua blok tersebut.
“Kami telah menyurati Gubernur Aceh, somasi, keberatan sampai upaya banding administratif ke Menteri Dalam Negeri agar Gubernur segera menandatangai Term & Condition alih kelola blok migas Aceh di Rantau Kuala Simpang dan Peulreulak, karena selamakin lama ditandatangani maka Aceh berpotensi akan kehilangan informasi pendapatan hasil migas di dua blok tersebut,” kata Safar.
“Menyatakan bahwa tindakan Tergugat merupakan Perbuatan Melanggar Hukum jika tidak memberikan persetujuan atas rekomendasi terhadap Term & Condition yang telah disepakati oleh Pertamina EP, BPMA dan SKK Migas kepada Menteri ESDM, dan memerintahkan Tergugat untuk segera menandatangani surat persetujuan atas rekomendasi terhadap Term & Condition yang telah disepakati oleh Pertamina EP, BPMA dan SKK Migas kepada Menteri ESDM untuk segera ditetepkan sebagai Wilayah Kerja Rantau hasil Carved Out,” demikian permintaan YARA kepada Ketua PTUN Banda Aceh dalam gugatannya.(*)